“Secara garis besar runtuhnya rumah gadang dan hilangnya pakaian Minangkabau itu adalah kita tidak lagi menjalankan nilai-nilai yang dulu semestinya. Keindividuan kita yang telah abai dengan Minangkabau, kita seperti menjadi tersangka yang telah ikut memudarkan nilai-nilai Minangkabau,” katanya.
Di awal pertunjukan, sebut Ery Mefri, diperlihatkan secara jelas dari empat orang yang membuka cerita di awal pertunjukan. Tiga orang penari ditandai dengan Tigo Tungku Sajarangan dan satu penari perempuan dengan penandaan ‘waktu yang terus berjalan, waktu yang memudarkan nilai, dan nasib-nasib yang penuh kekecewaan’.
Riak pertunjukan pun terlihat dengan masuknya penari-penari lain di pertengahan pertunjukan. Pemaknaan pun semakin menunjukkan inti dari kritikan yang ingin dituangkan Nan Jombang Dance Company melalui karya Ery Mefri itu sendiri.
Tambua-tambua dan tabuhannya seperti penanda ataupun puncuk dari kritik yang disampaikan “Asok dari Tungku”. Gerak tubuh yang risau seperti ingin menjemput dan membawa masa lalu ke masa kini.
Namun itu akhirnya hanya sebatas harap. Kenyataannya, masa lalu hanyalah sebuah tontonan di masa kini tanpa bisa membawa masa itu ke zaman ini. Dan itu pun dijelaskan Ery Mefri bahwa “Asok dari Tungku” hanya bisa menunjukkan masa lalu tanpa bisa mengharapkan nilai-nilai itu akan bisa utuh bagi masa kini.
Sampai sorot lampu meredup perlahan, dengan ekspresi penari yang suram, menandai berakhirnya 70 menit pertunjukan “Asok dari Tungku” karya Ery Mefri dari Nan Jombang Dance Company.
Bak meneropong masal lalu, Ery Mefri mengakui, karya “Asok dari Tungku” ini hanya bisa melihatkan esensi masa lalu (Minangkabau) ke masa sekarang. Sedangkan, ia tak bisa berharap lebih akan bisa menjajalkan nilai-nilai yang konvensional tentang Minangkabau itu ke zaman sekarang.














