Resah itu hanya bisa ditransisikannya kepada seni pertunjukan yang akan ditampilkan pada Festival Indonesia Bertutur oleh Kemendikbudristek RI di Nusa Dua, Bali, pada 14 Agustus nanti.
Gelar diskusi karya, pada Sabtu (20/7) lalu, setidaknya kematangan “Asok dari Tungku” terus dimasifkan. Karya ini telah memulai proses panjangnya sejak Oktober tahun 2023 lalu.
Ada delapan kali latihan lagi menuju pertunjukan yang sesungguhnya. Secara ide, “Asok dari Tungku” dilatarbelakangi pada pudurnya nilai-nilai dan sebuah tatanan yang harmonis tentang budaya Minangkabau.
Sang pengatur ekosistem budaya Minangkabau ditandai dengan keberadaan Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai yang diistilahkan dengan sebutanTigo Tungku Sajarangan tersebut.
Dalam pandangan Ery Mefri, Niniak Mamak mengatur relasi manusia dengan manusia, Cadiak Pandai mengatur relasi manusia dengan alam, dan Alim Ulama manusia dengan sang pencipta.
“Kami membayangkan ketiganya ibarat kayu-kayu yang saling bersilang di perapian di tungku. Kayu-kayu dalam perapian yang bergesekan dan memercik nyala api untuk memproses kehidupan. Gesekan di antara ketiganya bukanlah sebuah pertentangan yang menghancurkan, melainkan menghasilkan daya yang menjadi inti kehidupan,” katanya.
Inti kehidupan dimaksudkan asok atau asap. Asok yang mengepul dari gesekan itu tafsir akan penanda kehidupan yang masih terus dimasak atau berproses. Inilah yang akhirnya menjadi kritisi Ery Mefri dalam pengkaryaan “Asok dari Tungku”.














