PADANG, HARIANHALUAN.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sumatra Barat, akhirnya melaporkan pemilik konstruksi bangunan hotel dan masjid yang berdiri di kawasan rawan bencana Lembah Anai kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumbar.
Pelaporan dilakukan terhadap PT Hidayah Hotel Syariah (HSH) selaku pemilik bangunan yang ditenggarai telah melakukan pelanggaran undang-undang tata ruang serta kebencanaan di kawasan lembah anai pada Selasa (15/7/2025).
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan WALHI Sumbar Tomi Adam mengungkapkan, pelaporan terhadap PT HSH, akan dilengkapi dengan sejumlah dokumen bukti-bukti tindak pidana khusus yang dilakukan PT HSH.
Semua dokumen alat bukti yang telah disusun secara komprehensif melalui kajian mendalam ini, diharapkan menjadi panduan bagi penyidik Ditreskrimsus Polda Sumbar untuk meningkatkan status laporan ini ke tahap penyidikan.
“Termasuk analisis peta lokasi yang menyatakan lokasi konstruksi bangunan hotel dan masjid berada di dalam kawasan hutan lindung dan tidak sesuai dengan tata ruang,” ujarnya kepada Haluan Senin (14/7).
Menurut Tomi, PT HSH selama ini selalu mengklaim bahwa bangunan konstruksi hotel dan masjid yang mereka bangun tepat di sempadan sungai Lembah Anai berada didalam Areal Penggunaan Lain (APL).
Namun berdasarkan kajian peta kawasan Lembah Anai yang telah dilakukan secara komprehensif, bangunan yang berada di dalam kawasan APL, ternyata hanyalah pelataran parkiran, termasuk jalan sampai ke areal di seberangnya.
“Artinya bangunan hotel, masjid dan gerai yang baru saja dibuka itu berada di dalam kawasan hutan lindung. Bukan berada di APL. Untuk membuktikannya, kami akan membawa peta batas-batas kawasan sebagai referensi bagi penyidik,” ucapnya.
Tomi yakin bukti-bukti dokumen yang akan dilampirkan sangat kuat dan mampu meyakinkan penyidik Ditreskrimsus Polda Sumbar bahwa telah terjadi unsur pidana dibalik berdirinya konstruksi bangunan hotel serta masjid yang dibangun PT HSH di sempadan sungai Lembah Anai yang notebene adalah kawasan rawan bencana.
“Insyallah ini bisa naik ke tahap penyidikan setelah dilakukannya gelar perkara di kepolisian,” tambahnya.
Lebih lanjut, WALHI Sumbar juga menyoroti masih beroperasinya rumah makan serta lokasi pemandian di Taman Wisata Alam TWA Mega Mendung Lembah Anai pasca dilakukannya penertiban oleh Kementrian Kehutanan RI pada tanggal 25 Juni 2025 silam.
Menurut Tomi Adam situasi itu mengindikasikan bahwa Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) selaku penanggung jawab kawasan telah melakukan pembiaran dan lalai dalam melakukan penjagaan serta menegakkan aturan di lokasi rawan bencana yang telah sempat hancur luluh lantah di hantam bencana Galodo pada tanggal 11 Mei 2024 lalu itu.
“Pasca penertiban harusnya BKSDA melakukan patroli atau penjagaan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berulang. Namun itu tidak dilakukan. Artinya disini terjadi Miss atau kesalahan,” ucapnya.
Mengingat telah begitu Massif dan maraknya pelanggaran tata ruang yang terjadi di kawasan Lembah Anai, Tomi yakin pelaporan terhadap PT HSH, akan berdampak luas terhadap tegaknya aturan di kawasan tersebut di masa yang akan datang.
Apalagi selama ini, PT HSH selaku pemilik bangunan hotel dan masjid yang didirikan di kawasan lindung rawan bencana seolah kebal tidak tersentuh hukum. Situasi ini, kontras dengan tindakan tegas yang seringkali dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran tata ruang kota yang dilakukan masyarakat lemah tak berdaya seperti halnya para PKL.
“Jika yang melanggar adalah PKL, dalam waktu satu hari pasti bangunan liar atau gerobak mereka langsung dibongkar Satpol PP. Kenapa hal yang sama tidak bisa dilakukan dalam konteks pelanggaran tata ruang di lembah Anai?
Padahal Perda nya sama. Kami menduga ada indikasi relasi kuasa antara pengusaha dan pemerintah daerah di daerah itu. Ini yang menjadi concern kami,” pungkasnya. (*)