PADANG, HARIANHALUAN.ID —Tiga organisasi profesi jurnalis Sumbar, mengecam tindak kekerasan, intimidasi serta penghalangan kerja jurnalistik yang terjadi saat pemulangan paksa ratusan masyarakat Air Bangis kontra PSN di Masjid Raya Sumbar Sabtu (5/8/2023) kemarin.
Dalam rilis pernyataan sikap yang Haluan terima, Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Padang, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Padang serta Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan, ada empat orang wartawan yang mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi dari aparat kepolisian.
“Jurnalis Tribunnews, Nandito Putra, dipiting polisi berpakaian bebas saat sedang merekam kondisi sambil live streaming untuk medianya. Ia sebelumnya juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga berupaya direnggut,” tulisnya.
Nandito menjelaskan, sekitar jam 15.30 WIB, dirinya sedang melakukan siaran langsung di Facebook Tribunpadang.com dan merekam situasi pemulangan warag Jorong Pigogah Pati Bubur di pelataran Masjid Raya Sumbar.
Pengambilan gambar siaran langsung itu, mulanya berjalan lancar tanpa ada gangguan. Namun setelah dua menit merekam kondisi warga, dirinya mengarahkan kamera ke arah aparat polisi yang sedang menarik-narik seorang perempuan.
“Saya mengikuti kerumunan itu hingga jarak lebih kurang tiga meter. Namun tiba-tiba saat saya merekam, tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian preman dan menarik saya. handphone saya sempat diambil paksa. Lalu aparat tersebut menanyakan apa tujuan saya dan saya menjelaskan kalau saya sedang liputan,” katanya.
Dito bahkan mengaku dilepaskan usai dua orang jurnalis menyampaikan protes kepada para polisi, karena rekan mereka diamankan. Namun saat upaya itu, petugas juga mengangkat kerah baju Fachri Hamzah Jurnalis Tempo dan melontarkan ancaman.
Selain Fachri, Aidil Ichlas Ketua AJI Padang juga tidak luput dari intimidasi dan ancaman dari petugas yang sama saat berupaya melepaskan Nandito.
Beberapa menit kemudian, sejumlah perwira dari Polresta Padang menengahi dan meminta maaf kepada Nandito, Fachri dan Aidil atas peristiwa tersebut.
Tidak hanya itu, perilaku intimidasi juga dialami oleh Dasril Jurnalis Padang TV. Saat itu, Dasril sedang mengambil gambar penangkapan salah satu pendamping dari LBH Padang.
Tiba-tiba ada salah satu pihak dari kepolisian menghalangi kamera Dasril untuk merekam.
“Sudah-sudah jangan direkam lagi,” kata salah seorang polisi kepada Dasril. Mendapatkan perlakuan tersebut, Dasril tetap melanjutkan.
Selain itu, Zulia Yandani (Lia), seorang jurnalis perempuan dari Classy FM juga mengalami kekerasan dalam kerusuhan itu. Lia saat itu baru selesai sholat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar.
Karena melihat situasi memanas, ia lalu merekam peristiwa itu namun didatangi oleh sejumlah polisi, yang kemudian mengambil ponsel nya.
“Saya sudah menerangkan kalau saya wartawan, tetapi mereka tetap menarik saya dan mengangkat kedua kaki saya. Saya hendak dibawa ke mobil,” katanya.
Atas peristiwa itu AJI Padang, PFI Padang dan IJTI Sumbar berpandangan, bahwa tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers. Padahal, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers telah tegas mengatur tentang kerja-kerja jurnalistik.
Selain itu, tindakan intimidasi tersebut juga telah melanggar Pasal 18 Ayat 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00.
AJI Padang, PFI Padang serta IJTI Sumbar menyatakan sikap mengecam segala bentuk tindakan intimidasi dan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap jurnalis yang sedang bertugas di Masjid Raya Sumbar.
Mereka mendesak Kapolda Sumbar meminta maaf atas peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dialami oleh sejumlah jurnalis di Masjid Raya Sumbar.
Kemudian meminta Kapolda Sumbar untuk memproses anggotanya yang melakukan intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Empat, Meminta Kapolda Sumbar memastikan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani aksi, tetap mengedepankan profesionalisme, persuasif dan menghormati kebebasan pers,”
“Lima mengapresiasi tindakan sejumlah perwira polisi dari Polresta Padang yang mencegah berlanjutnya kekerasan kepada tiga jurnalis dan langsung meminta maaf pada kesempatan itu serta Mengimbau jurnalis untuk tetap mematuhi kode etik jurnalistik,” (*)