Teks foto: Prof. Syafruddin Karimi
PADANG, HARIANHALUAN.ID — Ekonom Sumatera Barat (Sumbar), Prof. Syafruddin Karimi menilai pembatasan belanja seremonial yang dilakukan pemerintah akan mengurangi pengeluaran yang tidak memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Studi banding dan seminar yang sering kali hanya menjadi formalitas tanpa implementasi konkret harus diarahkan ke format yang lebih efisien, seperti diskusi daring atau kolaborasi antardaerah berbasis data,”ujarnya kepada Haluan, Selasa (4/2).
Ia menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar harus memastikan kebijakan ini tidak menghambat peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), melainkan mendorong metode pelatihan yang lebih efektif dan hemat biaya. Seperti lokakarya berbasis hasil dan pengembangan kapasitas internal tanpa membebani anggaran daerah secara berlebihan.
“Lalu, pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 50 persen akan memaksa Pemprov Sumbar untuk lebih selektif dalam mengatur mobilitas pejabat daerah. Perjalanan dinas yang tidak mendukung peningkatan layanan publik harus dieliminasi,” katanya.
Pemprov Sumbar harus menetapkan skala prioritas perjalanan dinas. Jika benar-benar penting, perjalanan dinas yang dilaksanakan harus transparan dan efisien. Penggunaan teknologi seperti rapat daring dan koordinasi berbasis digital pun harus diperluas untuk menggantikan perjalanan fisik yang mahal. Meskipun kebijakan ini menghemat anggaran, Pemprov tetap harus mempertimbangkan kebutuhan koordinasi lapangan yang esensial. Khususnya dalam pengawasan proyek infrastruktur dan program pembangunan strategis.
Ia juga menilai, pembatasan belanja honorarium akan mengurangi inefisiensi dalam pembayaran tenaga ahli dan tim kerja non-esensial di Pemprov Sumbar. Sebab selama ini, banyak proyek daerah yang membengkak akibat pemberian honorarium yang tidak proporsional. Dengan mengikuti Standar Harga Satuan Regional, alokasi dana akan lebih terkendali dan berorientasi pada pencapaian hasil.
“Bukan sekadar pembagian insentif. Namun, Pemprov harus memastikan bahwa tenaga profesional tetap mendapatkan kompensasi yang layak agar kualitas layanan publik tidak menurun, terutama dalam proyek teknis yang memerlukan tenaga ahli dengan kompetensi spesifik,” ujarnya.
Ia juga mengomentari langkah Pemprov yang akan mengurangi belanja pendukung yang tidak memiliki output terukur. Ia menilai, kebijakan ini mendorong Pemprov Sumbar untuk menghapus belanja yang tidak memiliki dampak nyata terhadap pelayanan publik.
Program-program yang tidak menghasilkan manfaat konkret harus dievaluasi dan dialihkan ke sektor yang lebih produktif. Namun, pengurangan ini harus dilakukan dengan analisis berbasis data agar tidak mengorbankan inisiatif penting seperti penelitian kebijakan yang mendukung pembangunan daerah.
“Pemprov juga perlu membangun mekanisme pengukuran kinerja anggaran agar setiap pengeluaran memiliki target capaian yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik,” ucapnya.
Prof. Syafruddin Karimi juga mendukung langkah Pemprov Sumbar untuk memfokuskan anggaran pada target kinerja pelayanan publik. Ia menilai, alokasi anggaran berbasis kinerja akan meningkatkan efektivitas belanja daerah dengan memastikan bahwa dana publik digunakan untuk program prioritas yang memberikan manfaat maksimal. Apalagi selama ini banyak anggaran dialokasikan merata antarperangkat daerah tanpa mempertimbangkan urgensi kebutuhan. Pemprov Sumbar harus mengubah paradigma ini dengan menggunakan indikator kinerja yang terukur sebagai dasar distribusi anggaran.
Dengan demikian, daerah yang membutuhkan lebih banyak intervensi kebijakan, seperti wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi atau infrastruktur terbatas, akan mendapat alokasi yang lebih besar dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Ia juga mendukung langkah Pemprov untuk lebih selektif dalam memberikan hibah agar tidak terjadi pemborosan dan penyalahgunaan anggaran. Menurutnya, banyak hibah selama ini diberikan tanpa kajian manfaat yang jelas, sehingga mengurangi efektivitas penggunaan APBD. Kebijakan ini menuntut transparansi dan evaluasi ketat terhadap setiap pengajuan hibah, memastikan bahwa hanya program yang memiliki dampak ekonomi atau sosial yang signifikan yang mendapatkan dana.
“Pemprov juga dapat mengganti skema hibah dengan mekanisme insentif berbasis kinerja untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh penerima,” ucapnya.
Terakhir, ia menekankan bahwa fluktuasi Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat menuntut Pemprov Sumbar untuk memiliki strategi anggaran yang lebih fleksibel. Penyesuaian belanja harus dilakukan dengan mempertimbangkan ketidakpastian penerimaan, sehingga tidak terjadi defisit akibat perencanaan yang tidak realistis. Pemprov juga perlu memperkuat sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mengurangi ketergantungan pada dana pusat.
“Selain itu, program-program prioritas harus disusun berdasarkan skala kebutuhan mendesak, bukan sekadar mengikuti pola alokasi sebelumnya. Dengan manajemen fiskal yang lebih adaptif, Pemprov Sumbar dapat tetap menjalankan program strategis meskipun menghadapi keterbatasan anggaran,” ujarnya. (*)