PADANG, HARIANHALUAN.ID — Kebijakan baru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang menetapkan tarif timbal balik (reciprocal tariff) terhadap negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia, dinilai berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Hal ini disampaikan oleh Dr. Endrizal Ridwan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas (FEB UNAND) pada Senin (7/4).
Dalam kebijakan yang akan berlaku mulai 9 April 2025 tersebut, produk asal Indonesia dikenai bea masuk sebesar 32 persen lebih tinggi dari Malaysia (24 persen) dan Filipina (17 persen), namun masih di bawah Thailand (36 persen), Vietnam (46 persen), dan Kamboja yang mencapai 49 persen.
“Indonesia bersama negara-negara lain yang dikenai tarif resiprokal tentu akan terdampak besar, apalagi AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama kita. Tahun 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar US$16,8 miliar dari nilai ekspor US$26,3 miliar,” jelas Dr. Endrizal.
Menurutnya, Presiden Trump menganggap surplus perdagangan tersebut sebagai bentuk tarif terselubung terhadap produk AS, sehingga dikenakan tarif balasan. Namun, kebijakan ini justru bisa memukul kedua belah pihak.
“Konsumen AS harus membayar harga lebih mahal, yang bisa menurunkan permintaan termasuk terhadap produk Indonesia. Ini ibarat kita semua naik satu perahu, lalu Presiden Trump melubanginya. Pertanyaannya, apakah kita ikut melubangi juga?” ujarnya yang juga merupakan alumni program doctoral Indiana University.
Di tingkat regional, Dr. Endrizal menilai Indonesia akan terdampak dalam kategori moderat. Untuk komoditas pakaian dan sepatu yang merupakan ekspor utama Indonesia, posisi Indonesia dinilai sedikit lebih kompetitif dibanding Vietnam yang dikenakan tarif lebih tinggi. Namun, untuk komoditas seperti karet dan turunannya, Indonesia berpotensi kalah saing dengan Malaysia yang dikenai tarif lebih rendah. “Semua negara dirugikan, hanya tingkat kerugiannya berbeda,” ujarnya.
Meski demikian, ia melihat peluang strategis dalam pergeseran pendekatan ekonomi AS dari multilateral ke bilateral. “Ini bisa menjadi celah bagi Indonesia untuk menegosiasikan ulang hubungan dagang secara langsung. Vietnam sudah lebih dulu menawarkan penghapusan tarif untuk produk AS demi mendapat kelonggaran,” jelasnya.
Ia bahkan menyarankan Indonesia membuka diri untuk bernegosiasi dengan AS, pendekatan unilateral untuk menghapus hambatan perdagangan tertentu demi mendukung efisiensi industri berbasis impor dan ekspor.
Lebih lanjut, Dr. Endrizal menyebut bahwa sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan UMKM merupakan sektor yang paling rentan. “Penurunan ekspor bisa memicu PHK dan melemahkan daya beli. Karena itu, yang perlu diselamatkan bukan hanya perusahaannya, tetapi manusianya. Pemerintah perlu fokus pada bantuan langsung tunai bagi pekerja terdampak,” katanya.
Terkait sikap pemerintah, ia menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo pada 6 April 2025 yang menyatakan akan membuka jalur negosiasi dengan AS dan memperkuat koordinasi dengan negara-negara ASEAN. “Langkah Presiden sudah tepat, tapi harus disegerakan. Negara lain seperti Vietnam sudah bergerak cepat. Kita harus jadi pionir, bukan pengekor,”ujarnya.
Ia menambahkan diversifikasi pasar ekspor ke Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan, disamping ASEAN, perlu segera dijajaki dan diwujudkan. Sebagai langkah mitigasi jangka panjang, ia menekankan pentingnya reformasi struktural di bidang produktivitas dan investasi. “Banyak investor mengeluh soal biaya upah yang tinggi tapi tidak sebanding dengan produktivitas. Kita perlu mendorong para pekerja di suatu perusahaan juga menjadi pemegang saham di perusahaan tersebut, sehingga biaya bisa diinternalisasi,” sarannya. Ia juga mendukung program pinjaman pendidikan (student loan) untuk mendorong partisipasi swasta dalam pendidikan sebagai cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
“Kita tidak bisa hanya bergantung pada proteksi. Kekuatan ekonomi kita adalah kemampuan untuk bersaing di pasar yang kompetitif dan efisien,”ujarnya. (*)