Luas Lahan  Gambir di Sumbar 28.760 Hektare

Gambir merupakan salah satu dari 4 komoditas unggulan di Sumatera Barat, selain kakao (coklat), karet, dan kelapa sawit. IST

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Gambir merupakan salah satu dari 4 komoditas unggulan di Sumatera Barat, selain kakao (coklat), karet, dan kelapa sawit.

Lebih dari 80 persen kebutuhan gambir dunia dipasok dari Sumbar dengan daerah penghasil utamanya Kabupaten Lima Puluh Kota dan Pesisir Selatan .

Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumbar mencatat pada tahun 2024 jumlah luas lahan gambir mencapai 28.76o hektare dengan produksi 25.818 ton.

Terluas di Kabupaten Lima Puluh Kota 17.360 hektare dan produksi 20.033 ton serta Pessel 10.492 hektare dengan jumlah produksi 5.515 ton.

Kabid  Perkebunan Tanaman Semusim dan Rempah Agustian mengatakan tantangan utama dalam pemasaran gambir Sumbar adalah masih sangat bergantung sepenuhnya pada pasar India. 

“Ketergantungan yang tinggi pada satu pasar membuat Sumbar sebagai produsen memiliki posisi tawar yang lemah dalam menentukan harga jual,” ujarnya kepada Haluan di Padang, Selasa (22/4).

Dikatakannya harga gambir Sumbar ditentukan oleh para pedagang dari negara tujuan ekspor tersebut, sehingga petani tidak memiliki kontrol atas harga jual yang mereka dapatkan.

“Solusinya tentu kita harus mencari pasar lain selain India karena Sumbar akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam perdagangan gambir dunia, serta tidak lagi didikte oleh buyer India ,” katanya.

Tantangan lainnya dalam pengembangan dan pemasaran gambir di Sumbar adalah produktivitas gambir yang masih relatif rendah sekitar 0,6 – 0,8  ton per hektare per tahun.

“Kualitas gambir juga masih perlu ditingkatkan terutama dalam hal pemeliharaan tanaman dan pengolahan pascapanen yang menyebabkan pendapatan petani tidak optimal,” katanya.

Selain itu  budidaya dan pengolahan juga belum optimal. Pengolahan gambir masih dilakukan secara tradisional, tanpa dukungan teknologi yang memadai.

“Kemudian kurangnya penggunaan pupuk dan perawatan yang intensif pada tanaman gambir sehingga hasil dan mutu belum  sesuai dengan apa yang diharapkan,” ujar dia.

Masalah lain adalah kurangnya dukungan teknologi. Petani belum sepenuhnya menggunakan teknologi modern dalam budidaya dan pengolahan gambir.

“Kurangnya akses ke teknologi yang tepat tentu saja dapat menghambat peningkatan produktifitas dan kualitas gambir yang dihasilkan,” ungkapnya lagi.

Pemasaran juga masih lemah. Saat ini Petani sering kali hanya menjual daun gambir kepada pedagang pengumpul dengan harga yang sangat rendah antara Rp4.500 hingga Rp5.000 per kg.

“Hanya sebahagian kecil petani yang menjual berupa gambir kepada pedagang pengumpul yang memberikan harga yang rendah (tergantung pada kadar air),” ungkap dia.

Selain itu kurangnya Informasi Pasar dan Kelembagaan yang memadai membuat petani kesulitan untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik dan menguntungkan.

Terkait bantuan atau pendampingan yang diberikan kepada petani gambir dikatakannya dinas terkait sudah memberikan berbagai bentuk dukungan.

“Mulai dari bantuan alat  seperti untuk kempa, bantuan pembangunan Unit Pengolahan Hasil (UPH)  sampai bimtek bagaimana cara pengolahan gambir yang  baik,” katanya.

“Khusus tahun 2025 ini rencananya kita juga akan memberikan bantuan benih gambir bersertifikat untuk dua kelompok tani di Lima Puluh Kota sebanyak 11.400 batang dan 6 ribu di Pessel,” katanya.

Dikatakannya saat ini benih tersebut masih di penangkaran Dinas Pertanian dan menunggu untuk siap disalurkan yang diperkirakan sekitar bulan Oktober mendatang.

Ia menjelaskan dana bantuan benih gambir dan pupuk kompos melalui dana pokir dewan tersebut nilainya sebesar Rp200 juta untuk Lima Puluh Kota dan APBD murni Rp7.650.000 untuk Pessel.

Selain itu juga bantuan berupa alat pengolahan dan pascapanen  yakni alat kempa untuk wilayah Pessel dan dongkrak untuk petani di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Ditambahkannya saat ini juga sedang dipersiapkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang komoditas unggulan termasuk salah satunya gambir.

Pergub ini dirancang untuk menindaklanjuti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumbar No.3/2024 Tentang Tata Kelola Komoditas Unggulan Perkebunan.

“Pergub tersebut nantinya juga akan mengatur terkait pemasaran gambir yang melibatkan koperasi. Petani akan bermitra dengan koperasi dan koperasi nantinya yang memasarkannya,” ujarnya.

Selain itu pergub juga akan mengatur terkait pemasaran gambir bukan dalam bentuk produk mentaph tapi dalam bentuk produk turunan seperti kosmetik, dan obat-obatan.

“Harganya akan lebih mahal ketimbang produk mentah. Apalagi sebagian sudah ada yang mengolah dalam bentuk teh gambir dan ini akan terus dikembangkan lagi,”terangnya. Ia menambahkan pergub tersebut saat ini masih dalam pembahasan bersama Biro Hukum dan Kanwil Kemenkumham. Diharapkan secepatnya bisa direalisasikan. (*)

Exit mobile version