Keterangan Foto : Pasar Aur Kuning terlihat sepi dari pembeli. Padahal dulunya pasar grosir terkenal di Sumatera Barat itu merupakan denyut nadinya ekonomi di Kota Bukittinggi, Rabu (5/11). YURSIL.
BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.ID – Suasana Pasar Aur Kuning yang dulu terkenal hiruk pikuk dengan transaksi ekonomi dan langkah kaki pengunjung yang ramai, kini tidak nampak lagi.
Jika berjalan menyusuri lorong pasar, terdengar hanya gema langkah dan obrolan kecil antar pedagang. Banyak toko menutup lebih cepat, beberapa lainnya bahkan telah tutup sejak lama.
Lorong-lorong yang dulu dikenal ramai dengan tawar-menawar, tumpukan barang, dan langkah cepat para pembeli, kini tampak lengang. Hanya ada beberapa pedagang duduk di depan toko, sebagian sibuk memainkan telepon genggam, seolah menunggu waktu berlalu.
Zal (55), salah seorang pedagang pakaian yang telah lebih dari 35 tahun menghabiskan hidupnya di pasar yang dikenal sebagai Tanah Abang kedua. Ia duduk di kursi plastik kecil di tangannya, sebuah ponsel ia gulirkan pelan. Bukan sedang menunggu pesan penting, tetapi sekadar mengisi kesunyian.
“Biasanya, Rabu dan Sabtu harinya pakan di Bukittinggi. Pedagang dari luar kota berbelanja ke Pasar Aur Kuning. Tapi kini sepi pembeli, tidak sama lagi sebelum Covid 19,”ujar Zal ketika ditemui Haluan di Pasar Aur Kuning, Rabu (5/11).
Menurutnya, Pasar Aur Kuning pernah berjaya dimasanya dan menjadi rujukan tak hanya bagi warga Bukittinggi, tetapi juga pembeli dari luar daerah seperti Payakumbuh, Pasaman, Dharmasraya, hingga ke provinsi tetangga. Aur Kuning dikenal sebagai pusat sandang dengan pilihan barang lengkap dan harga bersaing. Lorong-lorong selalu padat, pedagang bahkan sering kewalahan melayani.
“Kalau dulu, buka toko sebentar saja sudah ada pembeli yang datang. Sore baru tutup pun masih sempat melayani. Sekarang, sehari dapat satu dua pembeli pun syukur,” ujar Zal tersenyum tipis.
Dulu pedagang menjual barang dagangan secara grosir. Kini, transaksi semacam itu sudah jarang terjadi. Sebagian besar pedagang melayani pembeli secara eceran.
Para pedagang menyebut penurunan aktivitas itu telah berlangsung beberapa tahun terakhir. Perputaran uang turun drastis, sementara biaya operasional, sewa kios, listrik, dan kebutuhan rumah tangga tetap berjalan.
Salah satu penyebab yang banyak disebut adalah pergeseran pola belanja. Masyarakat kini lebih memilih membeli kebutuhan melalui marketplace dan toko daring yang menawarkan harga lebih murah, diskon beruntun, dan layanan antar cepat.
“Orang tinggal pesan lewat HP, ada potongan, ongkir gratis, bahkan bisa dicicil pembayarannya. Kita di sini kalah bersaing,” ujarnya.
Sepinya pembeli ke pasar Aur Kuning, banyak pedagang yang gulung tikar tidak melanjutkan usaha karena tidak sanggup lagi membayar sewa toko dan gaji pegawai.
Jika dihitung hitung dulu sewa toko dengan ukuran 3 X 4 meter sebesar Rp100 juta perbulan. Tapi kini, sewa telah turun hingga 40 persen namun pedagang masih tidak mampu. “Sewaktu sewa Rp100 juta pedagang masih mampu menyewa. Tapi kini sewa hanya Rp60 juta pertahun masih banyak juga toko yang kosong,” ulasnya.
Pemandangan seperti Zal memainkan gawai sembari sesekali melongok ke lorong bukan lagi hal asing. Mereka tetap bertahan, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi tetapi juga karena pasar tersebut sudah menjadi bagian dari hidup. Tempat mereka membesarkan anak, membangun rumah, dan merajut masa depan.
Saat langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Zal refleks menoleh, matanya berbinar sesaat harapan sederhana yang terus ia ulang setiap hari mungkin pembeli itu akan singgah.
Meskipun kondisi tampak berat, masih ada harapan yang terus dijaga. Sebagian pedagang berharap adanya pembenahan pasar, peningkatan promosi, hingga kegiatan yang dapat menghidupkan kembali daya tarik Aur Kuning sebagai pusat perdagangan di kota Bukittinggi.
“Kami masih bertahan, karena ini sudah pekerjaan kami sejak dulu. Pasar ini dulu ramai, kami yakin bisa ramai lagi. Tinggal bagaimana caranya kita sama-sama menghidupkannya kembali,” kata Zal, menutup percakapan sambil kembali menatap lorong pasar yang lengang.
Pasar Aur Kuning mungkin tengah berada dalam masa sunyi, namun denyut harap para pedagang masih tetap ada menunggu momentum untuk kembali berdenyut seperti dulu.(*)














