Irwan mulai berpikir untuk meningkatkan pendapatan, memberikan nilai tambah bagi para petani kakao di daerahnya. Ia mulai mengolah biji kakao menjadi berbagai macam produk olahan yang disukai masyarakat. Awalnya, dia hanya dibantu lima karyawan dan modal awal sebesar Rp35 juta dengan beberapa peralatan dan pengolahan sederhana. “Dengan adanya industri pengolahan coklat di Aceh, lapangan kerja tersedia dan petani kakao di Aceh kian sejahtera,” harapnya.
Pada awal-awal produksi, ia sempat menghadapi berbagai tantangan, seperti melawan kebiasaan di Aceh yang meyoritas merupakan penikmat kopi. Saat belum banyak mengenal produk Socolatte, Irwan juga sempat bingung untuk memasarkan produknya kemana saat empat bulan pertama merintis. Namun, ia tetap semangat untuk memperkenalkan berbagai olahan coklatnya itu dengan mempromosikan berbagai manfaat coklat bagi kesehatan.
Kala bencana tsunami melanda Aceh pada Desember 2004 silam, ada hikmah tersendiri yang dipetik Irwan. Dengan masuknya sejumlah bantuan dari luar negeri berupa permodalan dan pemberdayaan ke daerah Aceh, dia juga kecipratan bantuan.
“Kita sempat jatuh bangun dalam memasarkan produk Socolatte ini, pada tahun 2004 usaha pengolahan Socolatte ini mendapat bantuan OISCA Jepang. Berupa modal Rp65 juta, juga peralatan pengolahan dan dengan bantuan teknis ahli pengolahan kakao dari Jepang,” kisahnya.
Hal itu yang menurutnya membuat lahirnya cikal bakal karya besar produk-produk cokelat yang memiliki cita rasa dan aroma khas cokelat asli Aceh.