Kisah Hidup Haji Sagi “Si Raja Emas dari Andalas” (Bagian I): Dia Tak Tega Ibunya Menangis!

YASMAHADI - PADANG PARIAMAN

Pengantar– Pembaca budiman, kami bangga  dapat menemani hari-hari anda dengan berbagai informasi yang kami anggap menarik untuk anda diketahui. Setidaknya oleh kalangan muda sebagai sebuah refrensi guna menatap hari esok yang penuh tantangan.

Kami coba menukil kembali penggalan perjalanan hidup seorang Haji Sagi, tokoh kharismatik yang mampu membangun kepribadian orang kampungnya dalam melecut semangat untuk maju dan berkembang bersama.

Penulis akan menghantarkan suka duka kehidupan  Haji Sagi, untuk  meraih impian dalam mencapai asa sehingga dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat di kampung halamannya. Tulisan ini akan hadir menemani anda dalam beberapa episode. Berikut kami sajikan untuk pembaca Haluan.

Haji Sagi (Azwar Wahid).

HARIANHALUAN.id – Matahari sore memancarkan sinar emas, ketika sunset  muncul di ufuk barat. Suasana senja mulai terasa, cuaca cerah. Barpacu dengan kumandangnya azan magrib, lelaki paro baya Kari Wahid, menyalakan petromak (srongkeng). Setelah petromak menyala Kari Wahid bergegas menuju mesjid yang tak jauh dari rumahnya di Pasar Aur Malintang.

Selesai shalat dan sedikit berdo’a Wahid, buru-buru meninggalkan mesjid. Baru saja melongokan kepalanya di pintu, Wahid disambut istrinya Jamarah yang tersandar di kursi tua ruang tamu.

“Pergilah jemput tek Suri, rasanya sudah mendekat,” kata istrinya.

Tanpa menjawab, Kari Wahid  bergegas meninggalkan rumah mencari Tek Suri. Wahid sudah mengerti maksud istrinya. Tek Suri adalah Dukun beranak yang sudah berpengalaman membantu ibu-ibu muda melahirkan. Hanya Tek Suri yang bisa diandalkan sebab pada waktu itu belum ada Bidan.

Abak dan Amak Haji Sagi

Tak lama berselang, Wahid muncul di ambang pintu diikuti perempuan enam puluhan yang kelihatan masih cekatan dan langsung menghampiri Jamarah yang terlihat meringis menahan rasa sakit. Hanya dengan meraba perut Jamarah, tek Suri tersenyum kecil.

“Belum saatnya, nanti beberapa jam lagi tapi kau tak boleh tertidur,” kata sang dukun.

Ada guratan kekhawatiran terbayang di wajah Kari Wahid. Ia sendiri tak mengerti kenapa, padahal kelahiran anaknya kali ini bukanlah yang pertama tapi untuk kesembilan kalinya. Tak biasanya ia seperti sekarang. Ada rasa cemas bercampur gelisah. Namun ia coba untuk menenangkan diri sambil duduk Kari berdo’a untuk keselamatan istrinya.

Malam kian beranjak larut. Sementara istrinya mulai mengerang menahan rasa sakit. Pelan Kari Wahid, lelaki yang biasanya sangat tegar ini mulai gelisah. Jam dinding berdentang satu kali, Wahid, memalingkan wajahnya ke arah jam.

“Setengah dua belas,” gumamnya. Kegelisahannya semakin terasa, pelan dia berdiri berjalan ke arah pintu kemudian duduk kembali di kursi rotan yang sudah mulai usang dimakan usia.

Istrinya bersama dukun sudah pindah ke ruang tengah. Lapat-lapat Kari Wahid mendengar suara Tek Suri, menyuruh istrinya ngedan.” Ulang baliak, ayo taruih, taruih, tarui, iyah. Alhamdulillah,” terdengar Tek Suri mengakhiri perintahnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara bayi menangis.

Alhamdulillah, Kari Wahid berdiri menuju ruang tengah. Begitu sampai diruang tengah ia melihat istrinya tersenyum lemah. “Apo namoe Ni,” tanya Kari.

“Laki-laki, sehat dan besar,” jawab Tek suri tanpa menoleh. Jari-jarinya bekerja dengan cekatan, sebentar saja si bayi sudah dibedung dan ibunya juga sudah berganti kain.

Tek Suri menyerahkan bayi kepada Kari Wahid, sambil berdiri di pinggir tempat tidur mengumandangkan suara azan menyambut kedatangan anaknya.

Tepat jam 23.45 WIB,  Senin 28 Agustus 1950, merupakan kelahiran si bayi yang kemudian diberi nama Azwar Wahid. Ternyata kelahiran Azwar Wahid kecil merupakan yang terakhir bagi  pasangan  suami istri Kari Wahid dengan Jamarah. Azwar wahid, merupakan anak bungsu dari sebilan bersaudara, tujuh putra dua putri, Burhan, Upiak Taba, Zainudin Cino, Bustari, Nurhayati(upiak kapeh) Samsuar, Zakir Wahid dan sibungsu Azwar Wahid. 

Pada saat kelahiran Azwar Wahid, angresi Belanda di Indonesia  juga berakhir. Namun kondisi bangsa Indonesia saat itu sangat memprihatinkan ekonomi morat-marit. Hasil pertanian masyarakat banyak yang gagal panen kehidupan benar-benar sulit.

Di saat seperti itulah Kari Wahid bersama istrinya membesarkan anak-anaknya setiap hari pakan (Selasa), Kari Wahid berjualan kebutuhan sehari-hari jualan Bada Masiak (Ikan kering) asam duyan (tempoyak) kemudian pada hari Kamis, berjualan ternak di Pasar Lubuk Basung Agam.

Satu ketika saat lebaran, ada saudara yang pulang kampung dari Medan, saat melihat  Azwar Wahid kecil yang kala itu baru berumur sekitar satu tahun. “Wah gagah sekali anakmu Jamarah, basagi  badannya,” kata sitamu memuji. Tanpa disadari kalimat basagi itulah awal dari kenapa Azwar Wahid bertambah nama panggilan baru menjadi Sagi.

Musim berganti, tak terasa Sagi, sudah menginjak usia sekolah, Sagi memasuki sekolah dasar pada usia enam tahun. Meski baru berumur enam tahun tapi Sagi sangat rajin membantu abaknya berjualan. Setiap pagi jam enam Sagi sudah bangun membantu abaknya membuka kedai. Setelah selasai barulah ia berangkat ke sekolah. Hal itu ia lakukan dengan senang hati sehingga banyak orang  menyenangi dan memuji Sagi kecil. Anak yang rajin membantu orang tuanya. Pagi sekolah pada sore harinya mengaji di tepian batang Gasan.

Enam tahun kemudian, Sagi menamatkan  sekolah dasar dan melanjutkan sekolah ke SMP Sungai Geringging. Ketika di SMP, setiap pagi ia berangkat dengan berjalan kaki sejauh lima kilometer dari rumahnya di Aur Malintang. Saat itu Sagi sudah merasakan betapa tertinggalnya kampung halamannya. Jalan tak ada yang bagus jangankan dengan kendaraan roda empat roda dua saja tidak bisa hanya gerobak yang ditarik dengan kerbau.

Tiap hari, Sagi memperhatikan teman-teman sebayanya. Mereka ke sekolah dengan pakaian yang tak layak yang menggambarkan ketidakmampuan, namun semangat belajar membuat mereka tetap bersemangat menjalani masa sekolah. Dalam hati kecilnya, Sagi  berjanji kelak dia akan membangun kampung halamannya. Negerinya harus maju seperti negeri orang.

Tiga tahun berlalu, begitu menamatkan SMP, Sagi melanjutkan pendidikannya ke Kota Padang. Di Padang Sagi memasuki SMOA. Pada saat itu kakanya Samsuar, sudah membuka Toko Mas di Pasar Raya Padang. Sepulang sekolah, Sagi belajar berjualan emas bersama kakaknya.

Begitu tamat SMOA, Sagi melamar masuk TNI angkatan Laut, ia bergabung dengan pasukan elit angkatan laut yaitu KKO. Ketika akan mengikuti pendidikan ke Surabaya, Sagi pulang ke Aur Malintang untuk minta izin orang tua. Sagi ingat pesan Guru Agamanya jangan pernah membantah ayah ibu. Kalau kalian ingin sukses selalulah minta restu orang tua. Ridho Tuhan tergantung Ridho Ibu bapakmu.

Rencana keberangkatan ke Surabaya diutarakannya kepada  amak(ibu)nya. Ternyata si ibu tidak mengizinkan. “Amak tak izinkan kau ke Jawa nak. Jawa jauh, kapan lagi kita akan bertemu, biarlah tak usah berpangkat tinggi tapi kau bisa bertemu amak setiap saat,” ujar si ibu dengan diiringi derai air mata.

Sagi yang sejak kecil sangat menyayangi ibunya, tak tega untuk membantah. Ia putuskan untuk tidak berangkat ke Surabaya.

“Carilah pekerjaan di Padang kalaupun ingin jadi pegawai,” kata amaknya.

Seminggu di kampung, Sagi kemudian kembali ke Padang, melamar menjadi guru…. (BERSAMBUNG: Haji Sagi Guru Olah Raga SMPN 2 Padang)

Exit mobile version