OLEH : Riga F. Asril
Lahir dari keluarga miskin yang tinggal di gubuk berdinding anyaman bambu dengan atap daun hilalang, tidak menjadi penghalang bagi Mahyeldi untuk menggapai cita-cita. Justru, hidup serba berkekurangan itu amat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya. Salah satunya, sejak kecil, ia memahami betul bahwa pendidikan adalah cara untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Mahyeldi lahir 25 Desember 1966 di Dusun Sungai Talang, Jorong Pulai Sungai Talang Bukit Lurah, Kenagarian Gadut, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Mardanis, seorang kuli panggul di Pasar Banto Bukittinggi. Sementara ibunya, Nurmi, mengurus rumah sambil menerima upah membordir mukena.
Rumah yang ditempati Mahyeldi kecil adalah warisan neneknya. Hanya satu kamar yang ada di dalam rumah itu, dan ditempati ayah dan ibu. Sementara Mahyeldi bersama adik-adiknya tidur di ruang tengah. Seluruh penghuni rumah telah terbiasa bermandi dingin sepanjang malam. Sebab dinding dari anyaman bambu menyisakan luang jalan angin.
Menjadi anak paling tua di keluarga, Mahyeldi terbentuk sebagai kakak dengan rasa tanggung jawab. Tidak seperti kebanyakan anak seumurannya yang menghabiskan waktu untuk bermain, Mahyeldi melahap hari-harinya untuk membantu orang tua. Sepulang sekolah dari SD Negeri 1 Gadut, ia berjualan es lilin bikinan tetangganya . Berjualan keliling kampung.
“Sejak kecil orang tua sudah mengingatkan, saya harus bertanggung jawab pada adik-adik, dan selalu siap untuk menggantikan posisi ayah jika nanti sudah tiba waktunya. Sejak SD hingga kuliah saya sudah terbiasa mandiri, banyak kegiatan ekonomis yang saya lakukan untuk meringankan orang tua,” kata Mahyeldi kepada Haluan di Istana Gubernuran, Kamis (23/9).
Meskipun menjalani hidup menyambi seperti itu, Mahyeldi tetap aktif berkegiatan dan mengejar prestasi di sekolah. Ia senantiasa berusaha untuk menjadi yang terbaik di antara teman-temannya. Ia sepenuhnya sadar, bahwa ia kurang beruntung dari segi ekonomi, sehingga jangan sampai kalah pula dari segi prestasi. Kekurangberuntungan itu, menjadi cambuk untuk membangun karakter dan kepribadiannya.
“Setelah berjualan es, sorenya saya mengaji dan belajar silat. Dua kali seminggu saya belajar silat dengan Inyiak Saridun. Kakek kandung saya,” ucapnya lagi.
Mengecap Tanah Rantau
Saat kelas V SD, tepatnya tahun 1978, Mahyeldi dan adik-adiknya diboyong sang ayah untuk merantau ke Kota Dumai. Ayahnya merasa penghasilan dari kuli panggul tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan harian. Selain itu, penyakit asma yang diidap ayahnya juga mendesak keluarga itu untuk pindah ke daerah dengan suhu yang lebih panas.
Di Dumai, ia tinggal di sebuah kontrakan, di salah satu gang, di Jalan Bintan. Ia melanjutkan sekolah di SD Negeri 9 Suka Jadi Kota Dumai. Ayahnya saat itu bekerja sebagai penarik becak di pasar. Selepas SD, Mahyeldi berhasil masuk ke sekolah favorit. Meski saat mendaftar banyak orang yang menyangsikan ia akan bisa diterima.
Orang tua Mahyeldi menaruh harapan besar agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Bahkan, kala itu ayahnya bernazar, jika Mahyeldi diterima di sekolah itu, maka ia akan memberikan seluruh penghasilannya menarik becak pada hari itu kepada seorang fakir miskin yang buta yang tinggal di sebelah kontrakan mereka.
Jadilah Mahyeldi diterima di SMP Pattimura, dan tentu nazar dibayar. Kemudian, Mahyeldi mendapatkan bagian untuk sekolah pada sore hari. Oleh karena itu, waktu sebelum sekolah ia habiskan di pasar ikan, dengan membantu para nelayan yang pulang melaut. Membantu membawa ikan hasil tangkapan ke tempat pelelangan. Di sana pula, ia berkenalan dengan seorang penjual ikan dari Pariaman.
Sikap Mahyeldi yang baik dan ketekunannya dalam bekerja, membuat si penjual ikan itu menaruh kepercayaan yang tinggi dan rasa sayang pada dirinya. Oleh karena itu pula, sejak ia bekerja membantu pedagang ikan itu, setiap hari pula Mahyeldi membawa ikan segar untuk dimasak dan dimakan bersama keluarga di rumah.
Jadi Loper, Lalu Membaca
Selain itu, untuk menambah pemasukan, Mahyeldi berkenalan dengan seorang pria penjual koran asal Aceh. Awalnya, ia sekadar menemani pedagang itu sembari menumpang membaca koran. Namun, karena perilkunya yang baik, ia pun diminta ikut menjadi loper. Dengan penuh semangat, Mahyeldi setiap sore mengantar koran kepada para pelanggan.
Bekerja sebagai loper bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan uang. Namun, hobi membaca sejak SD pun dapat tersalurkan dengan baik saat ia melakoni profesi itu. Mahyeldi dapat membaca apa saja tanpa harus membeli buku. Di sana, ia banyak memperoleh pengetahuan dan informasi baru. Mulai dari kondisi ekonomi maupun perkembangan politik.
Sejak dini, Mahyeldi mengaku tak terbiasa menghabiskan waktu untuk hal-hal mubazir. Sebab, ia sadar, sebagai perantau, penghasilan orang tuanya terbatas. Mahhyeldi tidak ingin sekolah atau pendidikannya tidak berlanjut karena biaya. Untuk itu ia tidak mau berpangku tangan.
Kurang lebih tiga tahun hidup di perantauan, Mahyeldi, ibu, serta adik-adiknya memutuskan kembali ke kampung halamannya di Dusun Sungai Talang. Sementara ayahnya, memutuskan untuk tetap di Dumai melanjutkan pekerjaan.
Uang yang terkumpul, digunakan oleh ibu Mahyeldi untuk usaha bordir. Bila sebelumnya sang ibu hanya menerima upahan dari tetangga, sekarang ibunya sudah bisa mempekerjakan orang lain dan hasil produksi dijual di Pasar Bertingkat Bukittinggi. Mahyeldi pun melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Gadut dan duduk di kelas 2. Kehidupan keluarga sepulang merantau sedikit membaik.
Mendalami Ilmu Agama
Sejak melanjutkan pendidikan di SMA 1 Bukittinggi, Mahyeldi memperdalam pemahamannya terhadap agama. Ia berguru dan belajar Fikih, Bahasa Arab, Nahwu, Tafsir, dan lain-lain dari guru-guru atau ustaz yang kerap mengisi pengajian di Masjid atau Musala di sekitaran Kota Bukittinggi.
Setamat SMA, Mahyeldi diterima di Program Studi Pembangunan Pedesaan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas (Unand). Di samping terus berusaha meraih prestasi di bidang akademik, Mahyeldi juga fokus membangun jaringan sosial dengan mahasiswa-mahasiswa lain. Hingga akhirnya, ia pun berlabuh pada kelompok unit kegiatan dakwah kampus.
Berkat keaktifannya di organisasi, nama Mahyeldi menjadi populer pada tahun 90-an di kalangan aktivis dakwah kampus di Kota Padang. Ia dikenal sebagai pendakwah muda yang piawai, walaupun tidak memiliki latar belakang pendidikan formil keagamaan. Sejak duduk di bangku kuliah dan aktif berdakwah, panggilan Buya melekat pada dirinya.
Lalu, saat masih berstatus sebagai mahasiswa itu pula, ia memutuskan untuk meminang gadis asal Batuhampar bernama Harneli Bahar, yang juga berstatus mahasiswi pada program D2 Pendidikan Bahasa Indonesia di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Padang-sekarang Universitas Negeri Padang).
Keinginan Mahyeldi untuk menikah di usia muda adalah untuk menjaga diri. Sebagai orang yang sering berdakwah, bertemu dengan banyak orang dan memberikan pengajian, dia tidak ingin terjebak dalam hal-hal yang tak diinginkan. Oleh karenanya, pada 12 Mei 1989, Mahyeldi dan Harneli Bahar resmi diikat dalam pernikahan.
Selanjutnya, Mahyeldi dan Harneli tetap tinggal di kos masing-masing untuk beberapa bulan. Sebab, Mahyeldi saat itu belum punya cukup uang untuk menyewa rumah. Namun setelah uang terkumpul, ia pun akhirnya menyewa rumah di kawasan Perumnas Air Tawar. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saat itu ia melakukan banyak hal, mulai berjualan, berdakwah, dan menjadi pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar Adzkia.
Kemudian setelah berhasil memperoleh gelar sarjana, Mahyeldi tetap melanjutkan kegiatan berdakwah dan berorganisasi. Pasca reformasi, aktivis dakwah merencanakan pembentukan Partai Keadilan (PK) untuk wilayah Sumbar. Mahyeldi saat itu ditunjuk sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PK, mendampingi Shofwan Nawawi yang menjabat ketua. Tidak lama setelah itu, pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang PNS menjadi pengurus partai politik. Shofwan Nawawi yang menjadi Dosen di IAIN Imam Bonjol akhirnya melepaskan jabatannya di PK, dan Mahyeldi menggantikan posisinya.
Pemilu 1999 adalah kali pertama PK ikut berkontestasi. Namun, hasil yang diperoleh tidak memuaskan, di mana PK gagal memenuhi ambang batas parlemen. Maka, sesuai dengan aturan pemerintah saat itu, PK pun mengganti nama. Tepat pada 2 Juli 2003, setelah melewati proses verifikasi di Departemen Hukum dan HAM, PK resmi berganti nama dan bergabung di bawah nama Partai Keadailan Sejahtera (PKS).
Mahyeldi sendiri tercatat sebagai Ketua DPW PKS Sumbar pertama. Ia memimpin selama periode 2002-2005. Di samping menjadi pengurus partai, ia juga aktif berkegiatan sebagai pengurus organisasi internasional yaitu World Assembly of Muslim Youth (WAMY) dan International Islamic Relief Organization (IIRO). Melalui keikutsertaannya dalam lembaga internasional tersebut, Mahyeldi bisa menyalurkan beragam bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Kemudian saat Pemilu 2004, PKS di Sumbar berhasil mencatatkan perolehan luar biasa. PKS berhasil memperoleh tujuh kursi di DPRD Sumbar, dan 11 kursi di DPRD Kota Padang. Mahyeldi adalah salah satu dari tujuh kader PKS yang terpilih di DPRD Sumbar periode 2004-2009. Tidak hanya itu, ia juga berhasil menjadi Wakil Ketua DPRD Sumbar saat itu.
Namun, posisinya sebagai Wakil Ketua DPRD hanya berlangsung hingga 2008. Sebab, pada Pilkada Kota Padang 2008, Mahyeldi mendampingi Calon Wali Kota petahana Fauzi Bahar. Keduanya diusung PAN dan PKS. Pilkada 2008 adalah Pilkada langsung pertama di Kota Padang. Fauzi Bahar-Mahyeldi unggul di seluruh Kecamatan di Kota Padang dengan perolehan suara 156.339.
Kurang lebih satu tahun pasca dilantik sebagai wakil wali kota, keduanya dihadapkan pada persoalan besar untuk membangun kembali Kota Padang yang luluh lantak karena gempa 7,6 SR pada 30 September 2009. Tidak lama setelah itu, 12 Juli 2012, Kota Padang kembali dihantam banjir bandang yang merendam ribuan rumah.
Hingga akhir masa jabatan, Fauzi Bahar dan Mahyeldi bahu membahu membangun dan menata Kota Padang. Hubungan keduanya tetap terjaga harmonis hingga akhir masa jabatan. Kemudian, pada Pemilihan Wali Kota Padang 2014-2019, Mahyeldi mencalonkan diri. Ia didampingi Sekda Kota Padang Emzalmi. Pasangan yang diusung PKS dan PPP itu bersaing dengan sembilan pasangan lain, dan berhasil menjadi pemenang lewat Pemilu dua putaran.
Kemudian, pada Pemilihan Wali Kota Padang tahun 2018, Mahyeldi kembali mencalonkan diri dan berpasangan dengan Hendri Septa bentukan koalisi PKS dan PAN. Keduanya unggul telak dengan perolehan 62,92 suara. Tidak lama setelah itu, Mahyeldi pun banjir dukungan untuk maju ke arena Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Sumbar.
Tepat pada 9 Agustus 2020, secara resmi Mahyeldi mendeklarasikan diri sebagai Calon Gubernur Sumbar dan berpasangan dengan pengusaha muda Audy Joinaldy. Keduanya didukung PKS dan PPP. Akhir cerita, Mahyeldi-Audy keluar sebagai pemenang dengan perolehan 32,43 persen suara. Keduanya resmi dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 25 Februari 2021 lalu.
Setelah tujuh bulan menjadi orang nomor satu di Sumbar, Mahyeldi dihadapkan dengan berbagai persoalan. Salah satu pekerjaan yang harus diselesaikan adalah membangkitkan ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Di awal kepemimpinan, Mahyeldi sempat mendapatkan kritik.
“Saya menilai, saat ada yang mengkritik, berarti masih ada orang yang sayang. Orang itu mau memperbaiki dan menyampaikan bahwa saya keliru. Jadi, biasa saja, kita manusia, jauh dari kesempurnaan. Bahkan, Rasullullah pun banyak yang memusuhi, dan Rasul memberi contoh untuk tidak balas memusuhi, tapi menjadikan orang itu teman dan tetap berbuat baik,” katanya.
Kurang lebih 11 tahun memimpin Kota Padang, baik sebagai Wali Kota maupun Wakil Wali Kota, Mahyeldi mampu mencatatkan berbagai kemajuan bagi Kota Padang. Selama ia memimpin, Padang meraih berbagai penghargaan dan menyelenggarakan kegiatan bersakala nasional dan internasional.
Mahyeldi juga mampu menata objek wisata dan pasar di Kota Padang agar lebih nyaman dan didatangi banyak wisatawan. Pada 2016, Mahyeldi meraih Government Award dari Sindo Weekly karena dinilai berhasil menata kota dalam waktu cepat. Setahun sebelum itu, Mahyeldi juga mendapatkan tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan dari Pemerintah Pusat. Ia dinilai berhasil mengurangi pengangguran di Kota Padang lewat program dan kebijakan di bidang koperasi.
Masih pada tahun yang sama, Mahyeldi juga memperoleh penghargaan dalam ajang Apresisasi Pendidikan Islam dari Kementerian Agama. Mahyeldi mendapatkan penghargaan itu atas kepeduliannya terhadap pengembangan pendidikan Islam di Kota Padang.
Mahyeldi bercita-cita untuk menghadirkan kepemimpinan yang adil dan berpihak pada rakyat. Ia mengusung spirit membangun Sumbar Madani yang berkelanjutan. Mahyeldi menyadari, tantangan Sumbar pascapandemi semakin berat. Oleh karena itu, setiap peluang harus dimanfaatkan demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
“Tugas pemimpin itu melayani, dan harus siap untuk sibuk. Alhamdulillah sejak dulu saya sudah berkegiatan dan sibuk, jadi saya tidak kaget. Hari-hari setelah menjadi gubernur, termasuk saat masih di Kota Padang dulu, jarang sekali ada hari yang kosong. Malah kalau satu hari saya kosong atau tidak ada kegiatan, saya malah tidak nyaman,” katanya. (*)