Asrial si Pengrajin Miniatur, Semakin Menua, Semakin Menjadi

LAPORAN : KIKI NOFRIJUM

Asrial, si pengrajin miniatur dari Solok Selatan. Ia berfoto bersama hasil karya miniaturnya. KIKI NOFRIJUM

Dengan lihainya jemari tangan Asrial merakit miniatur rumah gadang yang hanya terbuat dari kayu bekas. Di kesenjaan usianya yang telah genap 73 tahun, Asrial masih saja terampil, ketika mematut dengan jeli miniatur buatannya dari kemungkinan-kemungkinan yang akan mengurangi kesempurnaan hasil karyanya.

Ibarat waktu yang telah berkawan dengan dirinya, ia terus melasak hari demi harinya dengan membuat karya miniatur. Di Jorong Aia Tajun Sungai Aro, Nagari Pakan Rabaa Selatan, Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh (KPGD), dan di ruang yang hanya berukuran 4×6 meter, Asrial terus menekuni aktivitasnya sebagai pengrajin miniatur.

“Saya membuat miniatur ini telah lama. Tapi awalnya membuat karya miniatur ini hanya sekadar mengisi waktu saja dan untuk koleksi pribadi di rumah. Kalau untuk dijual baru beberapa tahun ini saya tekuni,” ujarnya kepada Haluan, Kamis (21/9).

Dengan memori yang tersimpan rapi di kepalanya, Asrial menceritakan segala pengalaman yang telah dilaluinya saat menjadi pengrajin miniatur. Ia merunut perjalanannya dari awal ketika akan mengenal karya miniatur yang tergolong sebagai seni rupa tersebut.

Awal mula ia mengenal seni rupa, tepatnya karya miniatur, bermula dari kesehariannya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan. Di masa bujangnya sebagai tukang bangunan, Asrial lebih sering mendapatkan pekerjaan membangun rumah gadang dibanding rumah modern.

“Saya hanya tamatan SD. Semasa itu saya pergi merantau untuk berdagang. Setelah itu balik lagi ke sini dan memilih menjadi kuli bangunan. Saya sering membuat dan memperbaiki rumah gadang, karena di sini banyak rumah gadang dan masih berfungsi,” ujarnya.

Pun sampai Asrial berkeluarga, ia tetap menekuni profesi kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Saking seringnya berkutat dengan rumah gadang, seluk-beluk pembuatan rumah gadang begitu hafal dalam kepalanya.

Di waktu istirahatnya di malam hari selepas bekerja, ketika itu muncullah ide untuk membuat rumah gadang dalam bentuk yang kecil. Dengan menggunakan kayu bekas yang ada, Asrial pun merakit miniatur rumah gadang di waktu senggangnya itu.

“Kayu bekas dari sisa bangunan rumah saya bawa pulang dan saya jadikan bahan dasar untuk membuat miniatur. Sama sekali untuk menjualnya ketika itu belumlah terpikirkan. Hanya untuk mengisi waktu dengan hobi saja,” katanya.

Bahkan, karya miniatur yang dibuatnya semasa bujang dulu hilang begitu saja. Sebab, baginya dulu memang sekadar kesenangan dan belum memiliki nilai yang berarti di mata Asrial sendiri.

Menghabiskan waktu hingga usia senja, dan pekerjaan kuli bangunan tidak lagi sepadat dulunya, akhirnya ingatan akan hobi Asrial membuat karya miniatur terulang kembali.

“Karena banyak waktu senggang di usia begini, akhirnya saya memulai kembali menyalurkan hobi saya membuat miniatur. Saya membuat miniatur rumah gadang tanpa melihat model gambarnya. Alhamdulillah ingatan tentang rumah gadang selalu tersimpan baik di ingatan saya, sehingga karya miniatur saya pun jadi,” ujarnya.

Dan ketika keluarga tercintanya melihat mahakarya pertama Asrial, orang-orang terdekatnya itu pun mengusulkan karya Asrial menjadi sumber ekonomi. Mengingat di usia senjanya yang tidak banyak beraktivitas, Asrial menerima usulan keluarganya dan kemudian mulai menekuni hobinya itu dari hari ke harinya.

Hingga sekarang ini, di kedai kecil tempat usaha percetakan anaknya, dan sembari menjual bahan bakar minyak (BBM) eceran, Asrial menyalurkan kepiawaiannya membuat karya miniatur tersebut. Asrial mulai merasakan hobi dan karyanya itu bisa bernilai ekonomis yang akan membantu menambah pendapatan keluarganya.

Menariknya, Asrial tetap mengandalkan kayu bekas sebagai bahan dasar pembuatan karya miniaturnya. Selain menghemat biaya, setidaknya penggunaan kayu bekas olehnya juga turut berperan dalam keramahan lingkungan.

“Saya memiliki kesibukan dengan hal yang saya senangi. Dan menekuni ini secara serius sudah hampir lima tahun. Karya miniatur dapat saya selesaikan dalam seminggu atau lebih. Saya lebih dominan membuat miniatur rumah gadang,” jelasnya.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Asrial telah banyak menghasilkan berbagai karya miniatur seperti rumah gadang, jam gadang, dan ikon-ikon daerah yang bernuansa keminangkabauan. Selain itu, sesekali Asrial juga membuat miniatur mobil jenis bus dan truk.

Harga jual karya miniatur Asrial sendiri diukur dari bentuk dan tingkat kerumitannya. Harga jualnya bervariasi mulai dari harga ratusan hingga jutaan rupiah. “Kalau bentuk kecil dan tingkat kerumitan rendah, itu berkisar 300, 400 atau 500. Ukuran besar dengan kerumitan tinggi seperti pembuatan motif ukiran rumah gadang itu bisa dijual kisaran 2 jutaan. Dan harga tertinggi yang pernah saya jual itu senilai Rp6 juta miniatur rumah gadang yang agak berukuran besar,” ujarnya.

Karya miniatur Asrial pun juga telah dipinang dari berbagai daerah. Baik dari kolektor, anak-anak, dalam daerah, dan bahkan dari luar Kabupaten Solok Selatan.

Dari perjalanan dan pengalaman yang dituturkan secara apik, ada satu hal yang sangat disenangi Asrial selaku pengrajin miniatur. Bahkan hal yang ia senangi itu dianggapnya sebagai sebuah apresiasi yang sangat tinggi bagi dirinya sendiri.

“Saya sangat senang ketika anak-anak kecil melihat saya membuat karya miniatur. Melihat mereka terpana dan bertanya lugu saat bekerja, bagi saya itu bentuk apresiasi yang sangat tinggi meski datangnya dari anak-anak. Saya pun jadinya bangga dengan apa yang saya buat ini,” tutur Asrial yang begitu semringah.

Tidak hanya itu, kepuasan tersendiri bagi Asrial juga terletak pada pembuatannya yang masih manual. Meski pembuatannya tanpa teknologi canggih dan menggunakan waktu yang lama, namun menurut Asrial di situlah letak kepuasannya dalam berkarya.

Sibuknya jemari tangan Asrial mengotak-atik karya miniaturnya, menjadi nilai lebih tersendiri yang juga sangat dibanggakan pak tua Asrial, si pengrajin miniatur dari Solok Selatan.

Harok Ka Sampai

Harok ka sampai ka tujuan. Seumpama begitulah harapan yang ingin dicurahkan Asrial selaku salah satu pengrajin miniatur di Solok Selatan. Di usia senjanya terselip harapan-harapan yang memang diharapkan dapat berlabuh ke tujuannya. 

“Bukan persoalan seni itu bernilai jual tinggi, tapi adalah apresiasi. Kami memanfaatkan bahan-bahan seadanya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai,” ungkap Asrial.

Setidaknya, ke depan kerajinan miniatur maupun kerajinan lainnya harus mendapatkan perhatian yang layak, tidak perlu khusus. Cukup diberikan pembinaan dan pelatihan agar usaha kerajinan dapat berkembang dan diminati di kalangan anak muda Solok Selatan.

“Bayangkan jika dibina dan diajarkan, lalu memanfaatkan barang bekas menjadi sebuah seni seperti miniatur ini misalnya, tentu akan saling berdampak baik bagi yang lainnya. Kita bisa menorobos hobi kita dengan kreativitas menjadi sesuatu yang bernilai. Dan bantu salurkan pasarnya untuk kami agar lebih produktif lagi,” katanya begitu berharap. (*)

Exit mobile version