Yus Datuak Parpatiah: Budayawan Minang Segala Zaman

Oleh: Peri Musliadi

Dalam kurun tahun 1980 hingga 2000-an awal, masih banyak dijumpai penjual kaset pita. Baik yang bertoko, maupun yang melapak pada setiap hari pakan (pasar besar). Lalu, saat ada sekelompok orang tengah berkumpul di depan toko atau kaset pita dalam waktu yang cukup lama, maka boleh jadi tengah mendengar karya terbaru Balerong Group Jakarta.

Balerong Group Jakarta adalah sanggar kesenian yang sukses memaksimalkan kemajuan zaman dalam misi menyebarluaskan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau kepada orang Minang di ranah dan di rantau. Ada pun sosok yang menahkodai dan paling berpengaruh dalam sanggar itu, tiada lain adalah Angku Yus Datuak Parpatiah.

Yusbir, demikian nama lengkap tokoh adat Minang yang akrab disapa Angku Yus ini. Ditemui Haluan di kediamannya di Sungai Batang, Maninjau, Kabupaten Agam, aura kearifan dan kebijaksanaan semakin kentara dari sosok Angku Yus yang telah menginjak usia 82 tahun pada 7 April 2021 yang lalu.

Angku Yus lahir di Sungai Batang pada tahun 1939. Kepada Haluan ia mengaku bahwa hanya menempuh pendidikan umum sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia tak sempat mengecap bangku perguruan tinggi, meski pun ilmu dan pemahamannya terhadap adat dan budaya sangat dalam, dan mudah dipahami karena kemampuannya dalam menyampaikan.

“Awalnya hanya hobi. Sampai sekarang ternyata sudah ada ratusan judul karya seni drama audio dan ceramah adat yang sudah dibuat, dan diproduksi lewat Balerong Group Jakarta. Saya memang tak ada sekolah khusus tentang adat dan budaya. Hanya banyak mendengar dan membaca saja. Otodidak saja,” kata Angku Yus, Jumat (12/11).

Sampai saat ini, memang tak satu pun gelar akademik yang disandang Angku Yus. Sejauh perjalanan hidup, satu-satunya gelar yang ia miliki adalah Datuak Parpatiah, yang ia sandang sejak diangkat menjadi penghulu suku Caniago pada tahun 1970. Sebelumnya pada 1965, Angku Yus menjabat panungkek dalam kaum dan kesukuannya.

Angku Yus bercerita, pada mulanya ia adalah seorang pengusaha di bidang konveksi sejak merantau ke berbagai daerah hingga akhirnya menerap di Jakarta pada 1976. Di toko miliknya di Jakarta, Angku Yus mengaku kerap berlatih drama dengan para karyawan tokonya, yang di kemudian hari menjadi para pentolan Balerong Group.

“Awalnya latihan-latihan drama begitu saja. Lalu saya dapat tawaran rekaman dari Haji Jhon, salah seorang teman dari Jambi,” kata Angku Yus yang punya moto hidup Dari pada menjadi ekor gajah, lebih baik menjadi kepala semut’ itu.

Angku Yus masih mengingat dengan jelas, bahwa Globe Record menjadi dapur rekaman pertama bagi dirinya dan para karyawan pemain drama. Saat itu tahun 1989, kelompok kecil kesenian itu mendapat bayaran Rp1 juta. Setelah itu, berentetanlah karya yang dihasilkan Angku Yus, atas nama Balerong Group Jakarta.

Seingat Angku Yus, sudah ratusan judul karya drama dan monolog atau ceramah adat yang direkam di dapur rekaman. Jika pada periode 1980 dan 1990-an produk banyak dipasarkan dalam bentuk kaset pita, maka pada periode 2000-an karyanya lebih sering hadir dalam format VCD. Bahkan, sampai sekarang, aktivitas berkaryanya saat ini diunggah ke kanal Youtube.

Beberapa di antara karya Angku Yus yang terkenal dan menempel di telingat pendengar adalah, Kasiah Tak Sampai, Maniti Buiah (drama), Rapek Mancik, Bakaruak Arang, Lego Pagai (drama komedi), serta Pitaruah Ayah, Baringin Bonsai, Diskusi Adat, Panitahan Baralek, Kepribadian Minang, dan Pitaruah Pangulu (petuah adat).

“Awal 2000-an sampai sekarang memang lebih banyak monolog. Membahas berbagai nilai, masalah, dan solusi dalam hal adat,” ucap Angku Yus lagi.

Angku Yus memang dikenal sebagai orang yang cakap memaksimalkan perkembangan teknologi pada zamannya, untuk menunjang aktivitas berkarya dan menyebarluaskan karya seni yang dihasilkannya. Hebatnya lagi, karya Angku Yus masih relevan didengar hingga saat ini, dan mudah dipahami oleh orang dari berbagai lintas generasi Minangkabau.

Berkat dedikasinya terhadap seni, adat, dan budaya, Angku Yus pun memperoleh banyak penghargaam dari berbagai pihak dan lembaga. Terbaru, ia menerima Anugerah Tokoh Masyarakat Adat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebab sebagai budayawan, ia dinilai berhasil menerobos pelestarian budaya lewat adaptasinya dengan perkembangan zaman.

Buku untuk Generasi Muda

“Awal tahun nanti, saya akan meluncurkan buku pertama saya. Judulnya ‘Manyibak Minangkabau’. Ini karya pertama dalam bentuk buku. Banyak soalan Minangkabau yang dibahas di dalamnya. Insyaallah awal 2022 nanti selesai dan diedarkan, dan semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat, khususnya generasi muda,” ujar Angku Yus.

Dalam percakapan dengan Haluan, Angku Yus juga memberikan pandangan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial kemasyarakatan Minangkabau. Terutama terkait pemahaman adat generasi muda Minangkabau, yang menurutnya sudah tidak seperti dulu. Menurut Angku Yus, memang banyak generasi muda yang mengerti adat, tapi tidak banyak yang bisa mengaplikasikannya dalam keseharian.

“Banyak yang tahu sekadar tahu, dan mereka tidak mau mendalami lagi. Padahal suku bangsa kita ini unik dan hebat. Kerap menjalankan sesuatu yang bahkan orang lain pun belum tentu sudah memikirkannya. Ini tergambar dari luar biasanya pepatah petitih kita. Seperti bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakai yang bermakna pentingnya bermusyawarah,” kata Angku Yus lagi.

Selain itu, Angku Yus melihat banyak generasi muda Minangkabau saat ini yang cerdik sekadar cerdik, tapi tidak berpandai-pandai. Lebih jauh diterangkannya, banyak generasi muda yang berilmu tinggi, tetap secara moral juga banyak yang bermasalah. Sehingga, ia berharap guru di sekolah betul-betul menjadi teladan dan pendidik, bukan sekadar menjadi pengajar.

“Sebab soal moral ini erat kaitannya dengan pendidikan. Sekolah memegang peran penting, dan guru adalah sosok yang diharapkan paling berpengaruh bagi generasi muda kita. Sebab, kita butuh generasi muda yang tidak saja pintar, tapi juga bermoral,” tutur Angku Yus di ujung percakapan. (*)

Exit mobile version