Puti Reno Raudha Thaib : Bundo Kanduang dengan Segudang Capaian

Prof. Dr. Ir. Raudha Thaib, M.P. (IST)

Oleh: Riga F. Asril

Perempuan memiliki kedudukan yang istimewa di Minangkabau, dan begitu dihargai sebagai guru pertama dalam kehidupan setiap umat manusia. Dugaan bahwa perempuan Minang disekat oleh banyak aturan adalah sebuah kekeliruan yang tak beralasan, karena faktanya perempuan Minang diberi ruang yang luas untuk mengekspresikan dirinya.

Simpulan itu ditarik dari percakapan Haluan dengan Ketua Perkumpulan Bundo Kanduang Sumatra Barat, Prof. Dr. Ir. Raudha Thaib, M.P, atau yang benama lain Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung. Dari sosoknya, perempuan Minang dan bahkan perempuan mana pun, wajib belajar.

Takdir sang Pencipta menggariskan Upik—sapaan masa kanak yang kemudian menjadi sapaan akrabnya—terlahir sebagai pewaris tahta keluarga Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, yang berasal dari pasangan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa dan Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang.

“Saat kecil sampai SD saya menggunakan nama lengkap Puti Reno Raudhatul Jannah, tapi saat SMP hanya Raudhatul Jannah, dan saat di SMA tinggal Raudha Thaib saja. Saya tak mau menonjolkan identitas keluarga dengan menggunakan nama Puti Reno. Saya tak ingin mendapat perlakuan berbeda,” kata Upik di kediamannya, Sabtu (16/10).

Tumbuh di lingkungan Kerajaan Pagaruyuang, Upik mendapatkan pendidikan dengan pola asuh yang lengkap. Mulai dari ayah, ibu, nenek, mamak, hingga bako, adalah guru mula-mula bagi dirinya. Upik juga merasa beruntung, karena keluarg memberikan kebebasan untuk meminati apa pun.

Semasa kecil, Upik mengaku pernah melakukan berbagai hal yang bahkan jarang dilakukan anak perempuan lainnya. Mulai dari berburu, main layangan, bahkan menyamar jadi peminta-minta di pasar. Alasannya saat itu sederhana; ingin merasakan pula bagaimana susahnya hidup orang yang yang mengalami kesulitan ekonomi.

“Soal meminta-minta itu, akhirnya sampai ke telinga ibu saya. Tentu saya dimarahi dan disebut membuat malu. Saya membela diri, karena ingin merasakan pula apa yang dirasakan orang. Lagi pula, nenek saya mengajari bahwa orang Minang harus jadi ‘Banca Darek’. Artinya, harus bisa hidup, beradaptasi, dan berbaur dalam keadaan apa pun, tanpa kehilangan identitas asli,” ucap Upik lagi.

Penulis, Atlet, dan Budayawan

Menjadi keturunan raja bukan halangan bagi Upik untuk menekuni apa yang menjadi minatnya. Saat ini, selain dikenal sebagai akademisi berstatus Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Andalas (Unand), di lain hal Upik juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, dan aktivis perempuan. Bahkan, Upik remaja juga atlet yang pernah berlaga hingga ke Pekan Olahraga Nasional.

Tradisi menulis, kata Upik, diturunkan dari ayahnya yang seorang guru bahasa Inggris dan sejarah. Sejak kecil, Upik dan saudara-saudanya yang lain diberi sebuah buku untuk menuliskan kegiatan harian yang rutin dibacakan di depan ayah selepas jam makan. Berbeda dengan saudaranya yang lain, tradisi menulis ini diteruskan Upik hingga kini.

“Pertama kali puisi saya dimuat di Haluan. Saat itu saya masih Kelas 2 SMP. Namun, kegemaran ini sempat terhenti karena saya mulai keranjingan berolahraga. Bahkan saking seriusnya, saya terpilih jadi atlet lompat jauh dan lompat tinggi mewakili Sumbar pada PON V Tahun 1961 di Jawa Barat. Saat itu jadi atlet termuda dari Sumbar dan atlet pertama dari Tanah Datar yang menembus PON,” ucapnya lagi.

Namun, kisah Upik sebagai atlet terhenti begitu saja setelah ia beranjak dewasa. Walhasil, ia kembali pada hobi lama, menulis, yang semakin ditekuni saat menjadi mahasiswa, hingga puisi pertamanya berjudul ‘Lagu yang Kian Menjauh’ dimuat oleh majalah sastra Horison pada tahun 1967.

Menurut Upik, semangat menulisnya terus terpacu berkat pergaulannya bersama para penulis dan budayawan Minang lainnya, seperti A.A Navis, Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain. Upik yang dalam kepenulisan menggunakan nama pena Upita Agustine itu setidaknya telah menghasilkan puluhan buku kumpulan puisi, mulai dari Bianglala (1973), Dua Warna (1975) bersama Hamid Jabbar, Terlupa dari Mimpi (1980).

Kemudian, Sunting (1995) bersama Yvonne de Fretes, Antologi Laut Biru Langit Biru (1977), Tonggak 3 (1987), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Buku Palaminan Minangkabau (2014), Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1981), Sembilan Kerlip Cermin; Antologi Puisi dari 9 Penyair Perempuan Indonesia, Latar, buku Matrilineal System in Minangkabau Culture, dan beragam karya lainnya.

“Saya sekarang sedang merampungkan delapan buku ‘Carito Niek Reno’. Buku ini buku tentang pelajaran adat Minangkabau yang dikemas dalam bentuk cerita, yang sebagian besar berasal dari cerita dan pengalaman saya sendiri,” ucapnya.

Pada akhirnya, kesenangan menulis pula yang mempertemuan Upik dengan tambatan hatinya, seniman, budayawan, dan sastrawan termuka ranah Minang, Wisran Hadi; penerima berbagai penghargaan sastra dan kebudayaan, serta Pendiri Bumi Teater yang kemudian melahirkan banyak tokoh.

Di sisi lain, setelah sang ibu, Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang, Upik dan saudaranya yang lain juga mendapat gelar ‘Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung’, serta kemudian didapuk sebagai Mande Sako, yang memiliki hak atas pengelolaan aset kerajaan dan pusaka.

Hal itu pula yang membuat Upik mulai tekan mempelajari lebih dalam soal adat dan budaya Minangkabau, terutama sekali mendalami bagaimana betul posisi seorang perempuan di Minangkabau. Kemudian, berkat keluasan pemahamannya terhadap adat dan budaya, Upik menjadi didahulukan selangkah dari para saudari perempuannya sebagai Mande Sako di Istano Silinduang Bulan.

Guru Besar Pertanian

Kompleksitas ketekunan Upik tak terhenti sampai di situ. Upik yang sejak kecil juga memiliki ketertarikan pada ilmu pertanian, lantas memutuskan menempuh kuliah jurusan pertanian sejak S1 hingga jenjang S3. Luasnya pengetahuan pertanian pula yang membuatnya menjadi pengajar pada Fakultas Pertanian Unand selama lebih kurang 42 tahun, hingga kemudian diangkat menjadi Guru Besar.

“Saya sudah purna tugas jadi dosen sejak 2017. Tapi sekarang lebih sibuk dibanding saat masih jadi dosen. Sebab, hampir setiap hari ada kegiatan di Perkumpulan Bundo Kanduang,” katanya.

Upik sudah tiga kali didapuk sebagai Ketua Bundo Kanduang Sumbar. Periode ketiga sejak 2020 lalu bahkan masih ia emban hingga 2024 mendatang. Selain itu, setelah Bundo Kanduang terdaftar di Kemenkumham dengan nama Perkumpulan Bundo Kanduang Minangkabau, ia juga diberi amanah sebagai ketua perkumpulan.

Asa Perempuan Minang

Perkumpulan Bundo Kanduang sendiri menaungi Organisasi Bundo Kanduang yang berada di provinsi-provinsi lain, termasuk di mancanegara. Saat ini setidaknya sudah terbentuk Perkumpulan Bundo Kanduang di empat provinsi lain, yaitu Jambi, Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Sumut.

“Organisasi Bundo Kanduang di luar Sumbar itu AD-ART-nya merujuk dan berinduk ke Perkumpulan Bundo Kanduang Sumbar, karena pusat organisasi berada di sini,” ucapnya menerangkan.

Curahan waktu dan pikiran Upik untuk Perkumpulan Bundo Kanduang Sumbar didasari keinginan mendorong perempuan Minangkabau untuk lebih mandiri, berpengetahuan luas, dan berakhlakul karimah sebagai contoh dan pendidik bagi anak, masyarakat, dan kaum. Upik menyadari, perempuan Minangkabau sejak dulu diberi ruang luas.

“Kita perempuan di Minang ini diberi ruang yang lapang untuk mengembangkan diri dan berekspresi. Perempaun Minang bisa menjadi apa pun selain delapan hal, yaitu penghulu, manti, malin, dubalang, imam, khatib, bilal, dan kadi. Di luar itu, perempuan Minang tidak dihalang-halangi oleh adat untuk menjadi apa pun,” tuturnya tegas.

Menurut Upik, pelarangan perempuan Minang menjadi penghulu pun lebih didasari oleh ketentuan pembagian tugas semata. Sebab, faktanya perempuan Minang tetap bertindak sebagai pemilik sako, pusako, dan rumah nan gadang. “Yang punya gala kaum itu perempuan, tapi yang punya hak untuk memakai gala laki-laki,” katanya.

Raudha menyebutkan, selain mandiri, berani, dan cerdas, perempuan Minang juga harus memiliki sikap dan mental kemandirian. Sebab, perempuan dengan tanggung jawab yang lebih besar adalah penentu dan pemegang otoritas di dalam kaum. Bagi Upik, Minangkabautidak akan pernah habis, selagi tetap berpegang pada pengamalan Al-Qur’an dan Hadis, serta terus belajar pada alam.

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) mesti kembali dimaknai dengan komprehensif untuk membentuk generasi Minangkabau yang tangguh. Ajaran nenek moyang kita masih sangat relevan untuk menjawab soal dan tantangan hidup hari ini. Muara dari ajaran itu adalah akhlak atau karakter, dan etika,” tuturnya lagi.

Menurut Upik, satu hal yang minim penerapannya pada masa sekarang dalam keluarga Minang adalah pola asuhan bersama. Saat ini, anak cenderung hanya diasuh dan didik oleh keluarga inti, tetapi tidak melibatkan peran mamak, bako, dan kaum. Bahkan di beberapa kasus, banyak anak yang tidak mengenal siapa mamaknya.

“Peranan mamak hari ini bergeser jauh dari idealnya. Padahal sejak dini, pada diri si anak harus hadir sosok mamak. Sekarang saya sudah 74 tahun, tapi usaha dan upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keminangkabauan dalam kehidupan bermasyarakat ini, bagi saya selalu muda,” ucap Upik menutup. (*)

Exit mobile version