Ery Mefri : Lika-liku Berkesenian Sang Maestro Tari

Ery Mefri, sang maestro tari asal Sumbar. IST

LAPORAN : KIKI NOFRIJUM

Pilihan hidup menjadi seorang koreografer tidak dijalani dengan mudah begitu saja oleh Ery Mefri, sang maestro tari asal Sumbar yang mendiri dan menahkodai Nan Jombang Dance Company hingga hari ini. Perjalanan berkesenian puluhan tahun yang ia jalani adalah pergumulan dari kenikmatan dan penderitaan yang kemudian mewujudkan keindahan.

“Kenikmatan dan penderitaan dalam berkesenian bagi saya adalah sebuah keindahan. Saya menanamkan itu dalam diri saya, sehingga semakin mantap dengan pilihan hidup yang saya tempuh. Saya yakin, Tuhan tak akan sia-sia. Ia pasti menuntun saya dalam menjalani pilihan ini,” kata Ery Mefri kepada Haluan saat ditemui Sabtu (27/11) lalu.

Ery Mefri lahir di Saniang Baka, Kabupaten Solok, 27 Juli 1958 silam dari pasangan Manti Menuik dan Nurjanah. Ery Mefri memag lahir dan besar di lingkungan berkesenian. Ayah yang ia panggil Abak, Manti Menuik, adalah seniman tradisi kenamaan di masanya, yang menguasai tari, silat, randai, dan alat musik. Sedangkan Ibu atau ia panggil Amak, Nurjanah, adalah penenun songket.

Saat usia baru menginjak 6 tahun, Ery Mefri telah pandai menari. Ia mengaku kepandaian itu ia dapat lebih banyak dari aktivitas menyimak, alih-alih ikut latihan rutin bersama murid tari yang berguru pada Abaknya. Sebab ketika Abak melatih, Ery lebih suka duduk-melihat saja, kadang sambil bermain, dan bahkan sampai tertidur di pangkuan Amaknya.

 

“Saya suka memperhatikan Abak saat mengajar murid-muridnya. Saya hanya duduk dan melasak-lasak layaknya anak kecil. Kadang saya juga mengantuk saat berada di pangkuan Abak yang sibuk menabuh gendang atau berdendang. Jadi, penglihatan terakhir saya sebelum tertidur saat kecil adalah aktivitas latihan seni,” kata Ery lagi.

Pilihan Seorang Penari

Lahir dari lingkungan seni, Ery Mefri kemudian mantap memilih jalan hidup sebagai penari setelah dirinya diejek oleh pelatihnya, hingga dikeluarkan dari kelompok yang dipersiapkan untuk mengisi acara perpisahan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Menurut Ery, sang pelatih mengeluarkan dirinya karena menganggap ia tak bisa menari dan pinggangnya yang kaku.

“Di situlah awalnya saya mantap memilih jalan hidup sebagai penari. Saat dikeluarkan itu, saya tajamkan pandangan saya pada pelatih itu, lalu dalam hati saya berkata bahwa suatu saat saya akan mengalahkan pencapaiannya dalam menari,” kata Ery mengenang.

Sebelum melanjutkan pilihan, Ery Mefri terlebih dulu berhadapan dengan Abaknya, yang berharap agar dirinya memilih dan menekuni pendidikan seputar pertanian. Bahkan, Abak berjanji membelikan sepeda motor baru jika Ery menyambut harapan itu. Akan tetapi nyatanya Ery menolak, dan mengatakan kepada Abak bahwa ia akan menempuh pendidikan seni.

“Pada akhirnya Abak tidak memaksakan kehendaknya. Abak menerima keputusan saya, dan akhirnya saya sekolah di SMKI Padang Panjang. Konsekuensinya tentu saja, saya tak jadi dibelikan sepeda motor,” ujarnya sambil tertawa.

Saat menekuni pendidikan di SMKI, Ery mengaku lebih sering menghabiskan waktu untuk berlatih dan berlatih. Ia ingat, sepulang sekolah, ia hanya akan makan siang sebelum kembali tenggelam dalam aktivitas latihan hingga malam hari.

Kemudian, setelah menamatkan pendidikan di SMKI selama empat tahun enam bulan, Ery Mefri benar-benar mulai meniti impian dan pilihannya untuk menjadi seorang penari. Jadilah, pada 1982, Ery Mefri merantau ke Kota Padang untuk mewujudkan impian itu.

Mimpi Itu Bernama Ladang Tari Nan Jombang

Pada tahun 1983, Ery Mefri mulai mendirikan Nan Jombang, di mana ia menggiatkan proses pelatihan dengan sangat bersemangat, sambil mengingatkan diri untuk menebus janji pada diri sendiri untuk menjadi seorang penari yang berhasil.

Ery Mefri merasakan betul perjalanan Nan Jombang yang pasang surut dan penuh dinamika. Sebab di masa itu, telah banyak tumbuh sanggar-sanggar kesenian yang telah eksis dan punya nama. Meski demikian, Ery Mefri tetap yakin bahwa apa yang akan ia tekuni tak akan berujung pada sebuah kesia-siaan.

“Selain itu, iklim berkesenian di kampung halaman ini juga berdampak pada mental kita sebagai seniman. Mungkin, sebanyak orang yang menyenangi saya sebagai seorang seniman, maka sebanyak itu pula yang tidak menyenangi, bahkan membenci. Sungguh, memilih mengabdi di kampung sendiri ini tekanan dan mental kita benar-benar diuji,” ujarnya.

Namun lambat laun, Nan Jombang mulai merambah dan kian eksis sebagai sanggar kesenian yang diperhitungkan di Kota Padang. Akan tetapi, ekosistem berkesenian di Sumbar tetap menemukan banyak kendala dan masalah. Menurutnya, tak sedikit kepentingan-kepentingan tertentu hadir dan memberikan dampak pada aktivitas berkesenian itu sendiri.

Beruntung, nasib baik kemudian membawa Nan Jombang melanglang buana hingga ke kancah nasional. Pada tahun 2004, Nan Jombang mendapat kepercayaan untuk mengikuti IPAM di Bali; sebuah ajang pertunjukan seni yang dihadiri oleh produser buyer dari berbagai belahan dunia.

“Saat hadir itu, saya membawa karya Sarikaik. Karya itu adalah karya tari kontemporer yang berangkat dari permasalahan sosial di Minangkabau, yang mana musyawarah sebagai salah satu cara untuk penyelesaian masalah kini hanya menjadi tempat untuk menimbulkan masalah baru lainnya,” katanya.

Tidak disangka, penampilan Ery Mefri dengan Sarikaik itu menjadi awal mula kegemilangan karirnya. Sebab, setelah itu ia menerima kunjungan dari seorang buyer asal Australia bernama Andrew Roos, yang mengaku sangat terpikat dengan karya Sarikaik. Sehingga, Ery Mefri pun mendapatkan tawaran pertama untuk tampil di luar negeri, yang tentu saja pertunjukan itu digelar di Australia.

Selanjutnya, pada tahun 2007, Ery Mefri bersama grupnya Nan Jombang, kembali mengisi panggung di Australia. Akan tetapi di sela keberangkatan yang kedua itu, malang tak dapat ditolak bagi Ery Mefri. Sebab, beberapa jam sebelum keberangkatan, Abaknya, Manti Menuik, meninggal dunia pada pukul 02.00 dini hari.

Musibah itu membuat Ery Mefri benar-benar merasakan keterpurukan. Ia termenung dan tidak dapat memicingkan mata sama sekali. Ia merasa dilema tak karuan. Sampai akhirnya, banyak kawan-kawan yang memberinya semangat, dan menyuruhnya tetap berangkat. Untuk almarhum Abaknya, kawan-kawan tersebut mengaku akan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan jenazah, hingga mengantar almarhum ke tempat peristirahatan terakhir.

Setelah itu, Ery Mefri benar-benar dikenal sebagai maestro tari yang diperhitungkan. Di dunia internasional, Ery Mefri telah menjajaki berbagai negara untuk menari, seperti tour yang ia jalani di Amerika, Australia, Jepang, Singapura, Jerman, Inggris, dan lain sebagainya.

“Berkat undangan-undangan itu pula saya mampu membeli tanah dan membangun rumah sekaligus gedung pertunjukan, yang sebenarnya ini juga didorong oleh keinginan anak-anak yang terlibat berkesenian dengan saya. Jadilah, dimulai pembangunan ini pada tahun 2009, hingga mulai ditempati pada 2011,” ujarnya.

Ery Mefri pun menamakan gedung pertunjukan yang ia bangun itu dengan nama Menti Menuik, alias nama sang Abak. Berturut setelah itu, program berkesenian rutin mulai dihelat, seperti Kaba Festival, Pertunjukan Nan Jombang setiap tanggal 3, apresiasi terhadap seni tradisi Minangkabau, dan berbagai kegiatan seni lainnya. (*)

Exit mobile version