Teks foto: Kepala OJK Sumbar Roni Nazra
PADANG, HARIANHALUAN.ID — Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia yakni lebih dari 247 juta jiwa, memiliki potensi yang sangat besar dalam industri ekonomi syariah. Terlebih halnya Sumatra Barat, daerah dengan prinsip yang kuat memegang filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Dengan prinsip ABS-SBK yang kental dianut masyarakatnya, Ranah Minang digadang-gadang akan menjadi kiblatnya ekonomi syariah tanah air.
Peluang tersebut bertambah ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa bunga bank adalah riba sehingga tentunya mendorong masyarakat Sumbar yang religius beralih ke syariah.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sumatera Barat hingga Juni 2024, aset perbankan syariah tumbuh signifikan sebesar 14,05 persen (yoy) menjadi sebesar Rp11,03 triliun.
Tetapi demikian perkembangan signifikan perbankan syariah tersebut masih jauh di bawah perbankan konvensional yang nilai asetnya mencapai Rp81,94 triliun.
Selain itu masyarakat Sumbar yang memahami literasi inklusi keuangan syariah di Sumbar juga sangat rendah tercatat baru 12,84 persen.
Sudah seberapa seriuskah pengembangan dan penggarapan pasar ekonomi syariah di Sumbar, daerah dengan jumlah muslim terbesar dan masyarakatnya yang memegang teguh filosofi ABS-SBK?
Kepala OJK Sumbar Roni Nazra mengatakan kinerja perbankan syariah terus menunjukkan peningkatan yang signifikan, meski dari segi nominal, masih jauh di bawah perbankan konensional.
“Secara presentase pertumbuhannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Data empat tahun terakhir pertumbuhan aset perbankan syariah selalu di atas 12 persen,” ujarnya, Kamis (7/11).
Ia menjelaskan tahun 2021 pertumbuhan aset perbankan syariah di Sumbar (14,13 persen), 2022 (14,61 persen), per Desember 2023 (12,11 persen) dan per Juni 2204 (14,05 persen).
Kemudian penghimpunan DPK meningkat sebesar 13,85 persen (yoy) menjadi sebesar Rp10,31 triliun dan pembiayaan tumbuh 20,96 persen (yoy) menjadi sebesar Rp9,59 triliun.
Dengan rincian pembiayaan untuk investasi Rp1,4 triliun (29,19 persen), konsumsi Rp6,095 triliun (17,24 persen), modal kerja Rp1,9 triliun (27, 78 persen).
Risiko pembiayaan juga masih terjaga dengan rasio NPF 1,59 persen, dan rasio FDR 92,93 persen. (*)