Dibalik Keruntuhan Minang Mart, Pemprov Sumbar Dinilai Tak Punya Perencanaan Matang

PADANG,HARIANHALUAN.ID– Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Mahmud Yunus Batusangkar, Muhammad Aliman Sahmi mengungkap faktor penyebab kegagalan program Minang Mart yang pernah digagas Pemprov Sumbar di era kepemimpinan Gubernur Irwan Prayitno pada tahun 2016 lalu.

Menurut Aliman Sahmi, keruntuhan retail lokal yang dikelola pemerintah daerah itu, merupakan akibat dari kesalahan strategi perencanaan bisnis dan manajemen resiko yang telah dilakukan sejak awal.

Kesalahan ini, terindikasi dari masuknya PT Retail Modern Minang (RMM) sebagai pengelola di tengah jalan. Keterlibatan pihak swasta diluar tiga BUMD yang telah ditunjuk sebagai pengelola pada tahap awal, menandakan Pemprov Sumbar tidak punya perencanaan serta manajemen resiko bisnis yang mumpuni sebelum meluncurkan program ini

“Sebab jika ditengah jalan ada pihak ketiga yang masuk, berarti itu sudah mengindikasikan ada persoalan dalam proses perencanaan maupun manajemen stratejik dan risiko yang dilakukan sejak awal,” ujarnya kepada Haluan Minggu (10/11/2024).

Sahmi menekankan, keberlanjutan bisnis retail dan UMKM, sangat ditentukan oleh tingkat kematangan proses perencanaan strategis serta manajemen resiko yang diterapkan. Dua hal penting ini, kemungkinan besar luput dari perhatian Pemprov Sumbar selaku penggagas program Minang Mart.

Kesalahan ini,diperparah dengan begitu banyaknya kepentingan terselubung ketika pemerintah lewat BUMD, memutuskan masuk ke dalam sektor bisnis retail yang juga digeluti oleh pelaku swasta maupun masyarakat umum.

“Sebab ketika pemerintah masuk ke dalam bisnis umum dan diikuti oleh masuknya orang-orang titipan atau adanya agenda kebijakan yang bertujuan untuk membangun keberlanjutan posisi politik, itu akan menjadi daya rusak bagi pasar,” tegasnya.

Dalam sektor bisnis retail yang tidak menjadi hajat orang banyak, kata Sahmi, pemerintah seharusnya tidak boleh berusaha menjadi pemain utama. Jika pemerintah melakukan ini, artinya sama saja dengan pemerintah sedang berusaha untuk mengganggu pelaku usaha yang sebelumnya telah eksis di pasaran.

“Nah, dalam kasus Minang Mart, jika sejak awal pengelolaanya akan diserahkan kepada BUMD, ya sudah, serahkan secara full. Tapi dalam kasus Minang Mart ini, pemerintah ingin ikut andil, tapi tidak mampu jadi pemain. Akhirnya jadi rusak,” ucapnya.

Ia menilai, kesalahan perencanaan manajemen strategis dan manajemen resiko seperti yang dilakukan sejak awal oleh Pemprov Sumbar dalam pendirian Minang Mart ini, adalah alasan utama kenapa program-program pemberdayaan UMKM yang dilakukan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat seringkali berujung kegagalan.

“Kenapa? ya karena dari sisi manajemennya tidak matang. Sementara manajemen resiko tidak di mitigasi serta posisi tawarnya di pasaran juga tidak terlalu kuat,” ungkapnya.

Sahmi menegaskan, kegagalan Pemprov Sumbar dalam menjalankan program Minang Mart, harus menjadi pelajaran berharga bagi para pemangku kebijakan saat hendak menjalankan program pemberdayaan UMKM selanjutnya.

Jika pemerintah daerah memang serius ingin memberdayakan pelaku UMKM, pemerintah daerah hendaknya benar-benar membentuk sebuah Holding bisnis yang dikelola BUMD secara profesional.

“Serahkan betul kepada pihak ketiga secara profesional. Pemerintah tidak usah terlibat. Sebagai fasilitator boleh, tapi sebagai eksekutor pemberdayaan UMKM, sebaiknya jangan. cukup jadi fasilitator saja,” ucapnya lagi.

Libatkan Perguruan Tinggi Sebagai Inkubator Bisnis

Disamping membentuk holding bisnis UMKM yang dikelola pihak ketiga secara profesional, Sahmi juga menyarankan agar pemerintah daerah merangkul perguruan tinggi yang telah punya inkubator bisnis profesional untuk mendampingi UMKM-UMKM binaan.

Menurut Sahmi, pelibatan perguruan tinggi dalam upaya pemberdayaan pelaku UMKM, jelas lebih aman daripada melibatkan BUMD yang pada kenyataanya sering kali hanya menjadi sapi perahan dan diisi oleh orang-orang titipan.

“Contohnya saja di Malaysia, disana pemerintah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam membina dan mengembangkan UMKM. Asesment awal sampai akhirnya dilakukan oleh perguruan tinggi sebagai dalam bentuk pengabdian,” jelasnya.

Dalam program pemberdayaan UMKM, Sahmi menegaskan pelaku UMKM yang baru berdiri harus diperlakukan layaknya bayi yang lahir prematur. Mereka harus terlebih dahulu dimasukkan kedalam inkubator hingga akhirnya bisa kuat dan mandiri.

“Artinya, pelaku UMKM harus dibina dulu oleh perguruan tinggi sebagai inkubator , setelah mereka kuat baru bisa dilepas dan diberikan modal. Namun yang terjadi sekarang, UMKM langsung diberi modal, sementara mereka belum kuat, makanya mereka sering gagal tumbuh dan berkembang sehingga akhirnya mati perlahan-lahan,” pungkasnya. (h/*).

Exit mobile version