“Berlatar belakang Teknik Sipil bukan berarti tidak bisa menjadi pengusaha hingga pemimpin suatu nagari. Fokus program studi pada masa kuliah bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Namun, dalam daripada itu, kerja keras dan kemauan merupakan tombak untuk berjuang bahkan hingga melawan arus menuju kebaikan”.
Doa, harapan, dan kerja keras menjadi hal penting yang selalu dibawa dan dikantongi oleh Wali Nagari Saniang Baka, Desrizal Chandra Bahar. Baginya, tak ada yang tak mungkin saat doa selalu dimunajatkan, tekad terus ditanamkan dan dukungan orang tua terus mengalir.
Menjadi pemimpin suatu nagari mulanya tak pernah ada dalam rencananya. Ia pernah tercatat sebagai seorang mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1983-1989. Ia juga bagian dari keanggotaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan MAPALA semasa kuliah. Dirinya juga tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan juga termasuk dalam Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI).
Dalam perjalanannya sebagai seorang mahasiswa, dirinya juga merupakan seorang pekerja keras. Di sela-sela kesibukannya di kampus, ia menyempatkan diri berjualan sandal hingga pakaian di kaki lima bersama seorang temannya yang merupakan Wali Kota Solok, Zul Efian Umar. Hasil dari berjualan tersebut bisa menyelamatkan uang kuliah dan ongkos pulang kampung.
“Saya dulu berjualan sandal dan baju lebih sering saat musiman. Berjualan sebelum Hari Raya Idul Fitri hasilnya lumayan memuaskan, bisa untuk bayar uang kuliah dan ongkos pulang. Alhamdulillah, saya tidak sendiri, saya bersama sahabat saya, Zul Elfian. Beliau merupakan teman saya dari masa kecil hingga di bangku perkuliahan,” ujar Bahar.
Saat tahun-tahun terakhir menjadi mahasiswa, dirinya mengepakkan sayap untuk fokus pada kesibukannya untuk bekerja sebagai kontraktor di Yogyakarta. Keputusannya untuk tidak lagi melanjutkan kuliah dan meraih gelar sarjana bukan tanpa alasan, namun dirinya merasa kala itu lebih baik melanjutkan usaha.
Ambruknya nilai tukar rupiah yang dikenal dengan Krisis Moneter pada tahun 1997 mengakibatkan usahanya mengalami kolaps dan ia memutuskan untuk gulung tikar menjadi seorang kontraktor. Namun, sebagai seseorang yang berjiwa besar dan tak gentar diamuk badai, ia beralih profesi menjadi pengusaha Rumah Makan Padang di kota yang sama.
Krisis moneter ternyata tidak berlangsung satu atau dua tahun saja, hingga 2002, usaha rumah makannya seolah tak menjanjikan masa depan dimana dirinya saat itu sudah berstatus sebagai seorang kepala rumah tangga. Pada tahun yang sama, ia putuskan untuk pulang ke Saniang Baka membawa keluarganya. Selang satu tahun, ia bulatkan kembali tekadnya untuk merantau lagi ke Kota Gudeg.