Sidang pembaca budiman, penulis mencoba mengetengahkan tulisan ini kepada pembaca yang penulis ramu dari beberapa tambo dan cerita turun temurun dari tokoh –tokoh adat yang ada khususnya berkaitan dengan asal muasal berdiri Nagari III Koto Aur Malintang. Nagari ini berada di dalam daerah kelarasan Koto Piliang yang dalam Tambo Adat Alam Minangkabau berada di Luhak Rantau di pesisir Sumatera Barat.
Penulis mencoba menelisik asal mula berdiri nagari III Koto Aur Malintang. Untuk mengungkap asal muasal Nagari III Koto Aur Malintang kita tak lepas dari awal berdiri kelarasan yang dibentuk oleh dua petinggi kerajaan Minakabau. Yakni Daulat Suthan Paduka Besar yang bergelar Datuak Katumanggungan dan saudara seibu lain bapak Sulthan Indera Alam yang kemudian bergelar Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Pada saat Minangkabau dipimpin oleh dua orang inilah terbaginya daerah-daerah kelarasan guna menata pemerintahan hingga menjangkau rakyat di pelosok negeri. Meski terdapat pendapat lain yang mengatakan penataan pemerintahan sudah diatur sebelum keduanya menjadi pimpinan tertinggi di kerajaan Pagaruyung.
Karena sistim pemerintahan kala itu adalah sistim kerajaan, maka Datuak Katumangguangan, mengutus keluarga raja untuk memimpin di kelarasan yang ada termasuk di Kelasan XII Koto Padang Pariaman. Tidak diketahui dengan pasti siapa Daulat yang pertama memimpin di kelarasan XII Koto. Data yang didapat penulis Daulat terakhir yang memimpin di kalarasan Koto Piliang di Kelarasan XII Koto adalah Daulat Sibaludu. Konon pada masa Daulat sibaludu ini sudah terbentuk perpanjangan tangan Daulat hingga ke pelosok negeri dengan mengangkat tiga raja yakni:
1. Rangkayo Maha Rajo Lelo dengan daerah kekuasaan Sungai Limau, Kuranji Hulu dan Kuranji Hilia.
2. Rangkayo Dimalai dengan daerah kekuasaan malai limo suku dan Gasan, hingga ke Tiku dan Manggopoh dimana Tiku dan Manggopoh kemudia memisahkan diri.
3. Rangkayo Sardeo dengan daerah kekuasaan Malai Tigo Koto dan III Koto Aur Malintang hingga ke Silayang dan Dama Gadang. Samahalnya dengan Tiku dan Manggopoh, Silayang dan Dama Gadang juga memisahkan diri dari XII Koto.
Tatanan pemerintahan ini berlangsung beberapa abad sampai ketika Belanda dengan VOC nya masuk ke Minangkabau pada akhir abad 16. Memasuki abad ke 17, Belanda semakin menancapkan kukunya di Minangkabau. Ketika itu Belanda melihat bahwa di tengah masyarakat Minangkabau ada dua kekuatan yang saling berseberangan.
Pada saat itu pengaruh Islam berkembang pesat di Minangkabau tidak hanya di tengah masyarakat, bahkan di kalangan bangsawan kerajaan Pagaruyungpun sudah ada yang menganut Agama islam sehingga secara diam-diam muncul pertentangan di antara rakyat Minangkabau. Di satu sisi kalangan yang sudah menyakini kebenaran agama yang dibawa Syaikh Burhanuddin itu dan disisi lain kalangan pemangku adat, hal ini berlangsung secara diam-diam bagaikan api dalam sekam. Dan ini menimbulkan kekhawatiran Belanda, maka mulailah mereka menjalankan politik devide et impera yakni politik pecah belah/adu domba.
Pada saat itu pengaruh Islam berkembang pesat di Minangkabau tidak hanya di tengah masyarakat bahkan di kalangan bangsawan kerajaan Pagaruyungpun sudah ada yang menganut agama Islam sehingga secara diam-diam muncul pertentangan diantara rakyat Minangkabau. Disatu sisi kalangan yang sudah menyakini kebenaran agama yang dibawa Syaikh Burhanuddin itu dan disisi lain kalangan pemangku adat, hal ini berlangsung secara diam-diam bagaikan api dalam sekam.
Politik Devide et Impera Belanda mulai membuahkan hasil, berawalm dari menghancurkan kekuasaan raja, dan bersamaan dengan itu terjadi penggantian raja dimana ketika Sultan Alif, yang sudah menganut agama islam dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahnya. Di bawah kepemimpinan Sultan Alif inilah terjadinya perubahan sistim pemerintahan menjadi kesultanan. Maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama diganti dengan yang sesuai dengan tuntunan agama islam. Bahkan secara tegas dikeluarkan keputusan bahwa adat harus bersendikan kepada agama dan agama bersendikan pada kitab suci Alqur’an atau yang dikenalnya filosofi “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Sementara untuk penataan jalannya roda pemerintahan juga disesuaikan dengan ajaran islam. Meski masih ada diantaranya memakai kebiasaan lama termasuk dalam hal pengaturan wilayah kekuasaan raja hingga ke pelosok nagari di Minangkabau yang sudah diatur oleh raja sebelumnya yang terdiri dari luhak nantuo(Tanah Datar), luhak Agam dan luhak 50.
Akibat pertentangan antara kaum agama dengan kaum adat itu banyak rakyat meninggalkan tempat asalnya menuju daerah baru di pesisir pantai, termasuk di pantai luhak rantau yang kemudian dikenal dengan Padang Pariaman.
Bersambung……….