Dari catatan sejarah disebutkan bahwa Daerah Rantau Pariaman didirikan oleh imigran yang datang dari Batipuah sekitar tahun 1300 M. Merekalah yang meneroka daerah ini dengan membangun pemukiman baru yang kemudian membentuk koto jo nagari dan berkembang menjadi sebuah koloni baru yang belum tertata dengan baik. Mereka hanya diikat dengan kebiasaan turun temurun adaik lamo pusako usang dan belum mengenal sistim pemerintahan.
Rombongan yang datang dari Batipuah ini didominasi oleh mereka yang menganut faham kelarasan Koto Piliang yang dipimpin oleh Raja waktu itu, Daulat Sulthan Paduka Besar yang kemudian bergelar Datuak Katumanggungan. Sehingga dalam kesehariannya mereka mengamalkan tata cara dan adat yang mereka jalani selama ini di Batipuah.
Diperkirakan pada saat itu jugalah utusan raja Pagaruyung yang pertama, turun ke Luak Rantau dan menyusun pemerintahan secara otonomi meski dalam praktiknya tetap berkiblat kepada pusat kerajaan Pagaruyung.
Wafatnya utusan Pagaruyung yang pertama kemudian digantikan utusan kedua Daulat Sibaludu. Sibaludu yang meneruskan pendahulunya melihat masih banyak ketimpangan dalam pelaksanaan adat dan jalannya pemerintahan. Padahal segala sesuatu yang terjadi di tengah masyarakat sudah ada pedoman yang dijadikan sebagai dasar dalam menata kehidupan masyarakat.
Semua sudah tercantum dalam Sumpah Sakti Bukit Marapalam tahun 1403 M. Semua perbedaan pendapat dalam pertemuan tersebut sudah melebur dalam butir-butir kesepakatan guna mengantisipasi masuknya anasir asing dalam tubuh pemerintahan sekaligus menerapkan kaedah-kaedah agama sehingga hal-hal yang ada dalam penerapan adat yang bertentangan dengan agama dihilangkan.
Sumpah Sakti juga merupakan ikatan moral dan bathin para petinggi kala itu. Tak hanya kalangan pemimpin yang terkemuka, namun rakyat jelata juga digugah hatinya untuk bersama-sama memperbaiki keadaan social masyarakat.
Rakyat digerakan untuk berpartisifasi dalam membangun masyarakatnya. Semua potensi dimanfaatkan tanpa ada yang ditinggalkan. Kok Cadiak indak mambuang kawan, gapuak indak mambuang lamak, Nan buto paambuih lasuang, nan lumpuah paalau ayam, nan pakak palapeh badi. Dalam kehidupan social ekonomi misalnya, maka digunakan filosofi social Barek Samo dipiku, ringan samo dijinjiang.
Semula, kebiasaan ini terasa memberatkan. Namun karena sudah terbiasa dilakukan di tengah masyarakat maka jadilah kebiasaan ini menjadi adat bahkan jadi cerminan kepribadian.
Memasuki abad 18 terjadi perang saudara di Minangkabau antara kaum Agama yang dipelopori Haji Miskin, Haji Piobang, Tuangku Nan Renceh dan Tuangku Lintau. Raja Pagaruyung Arifing Muningsyah, akhirnya menyingkir dari pusat kerajaan. Peperangan berlangsung selama 18 tahun dari tahun 1803 sampai 1821 M. Belanda memboncengi kaum adat melawan kaum agama. Pada pase kedua tahun 1821 sampai 1825 tanda-tanda kejatuhan kerajaan Paruyung sudah terlihat jelas. Belanda yang ikut membantu, menekan pihak istana sehingga mereka dapat leluasa mengusai kerajaan. Itu ditandai dengan ditunjuknya Sultan Tangkal Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Pada pase ketiga perlawanan kaum Padri Belanda dibuat kewalahan perang berlangsung lama, akhirnya kesultanan Pagaruyung benar-benar tak berdaya akhir kerajaan Pagaruyung tak lagi mempunyai kekuatan sama sekali.
Belanda yang telah menguasai kerajaan mulai melakukan perubahan sistim pemerintahan di daerah, terutama Luhak Rantau. Terjadi perubahan sistim pemerintahan, perangkat yang dibentuk daulat Pagaruyung, dihapuskan oleh Belanda. Daerah kekuasaan Daulat, diacak acak dan diganti dengan pimpinan baru. Sistim pemerintahanpun diganti, banyak bukti sejarah yang diberangus penerapan adat yang sudah mendarah daging dilarang oleh Belanda, kewibawaan niniak mamak dipangkas.
Dalam menjalankan pemerintahan maka Belanda melahirkan sistim kewedanaan. Sedangkan tiga raja selaku pimpinan kelarasan sebelumnya tidak lagi memegang tampuk pemerintahan, maka hancurlah tamadhun (peradaban) yang dibangun selama ber-abad-abad itu.
Daerah kewedanaan juga bertambah luas, kelarasan XII Koto ditambah dengan Bawan dan Maninjau. Di Kelarasan XII Koto pun dipecah menjadi beberapa daerah maka munculah pemimpimpin setingkat Nagari dengan nama Demang. Disaat inilah masyarakat XII Koto dicekam ketakutan karena demang berlaku sewenang-wenang dalam memimpin daerahnya.
Kesewenangan para demang kala itu ditandai dengan penguasaan lahan dan hutan. Sebegitu takutnya rakyat, ketika berpapasan dengan rombongan demang saat yang melakukan kunjungan ke daerah, masyarakat bergegas menjauh.
Salah seorang demang yang terkenal kejam adalah Demang Bungkuak.
Bukti lain, kekejaman Belanda dengan menggunakan pengaruh Demang, masyarakat harus ikut kerja paksa (Rodi) untuk malakukan sesuatu untuk kepentingan penjajah.
Pada masa itulah, jalan raya dari Sungai Limau sampai ke Lubuk Basung sepanjang 31 km dibangun. Di bawah pengawasan Belanda, konon ribuan tenaga Rodi yang berasal dari rakyat Minangkabau tewas karena dipaksa bekerja dalam kondisi pisik kelelahan dan kelaparan.
Hal ini belangsung hampir 80 tahun hingga Belanda hengkang dari Bumi Minangkabau.
bersambung……….