PENGANTAR – Tak banyak yang tau, ternyata perancang Kota Kuala Lumpur Malaysia adalah orang Minang. Kota terbaik di Asia itu selain megah, bersih dan teratur. Siapakah putra Minang tersebut, berikut Haluan menyajikan tulisanya secara bersambung.
HARIANHALUAN.id – Bandaraya Kuala Lumpur bolehlah disebut sebagai salah satu metropolitan dengan penataan kota terbaik di Asia. Tapi, mungkin hanya sedikit orang yang tahu, bahwa ibu kota Negara Malaysia itu pertama kali dirancang sebagai kota modern oleh seorang putra Minangkabau.
Beliau adalah Prof. Emeritus Ezrin Arbi, putra campuran Maninjau – Banuhampu yang kini sudah berusia 86 tahun. Atas jasanya bagi negara Malaysia, beliau diberikan darjah tanda kehormatan Kesatria Mangku Negara (KMN) oleh Yang di-Pertuan Agong Malaysia (1983).
Selain Ketua Perancang Master Plan (di sana disebut Pelan Struktur) Bandaraya Kuala Lumpur yang pertama (1980-2000), Prof. Ezin Arbi juga tercatat sebagai pelopor pendidikan tinggi arsitek dan perancang bandar (tata kota) di Malaysia. Beliau adalah pendiri dan pernah menjadi dekan Fakultas Seni Bina (Arsitektur) dan Alam Bina (induk dari jurusan Arsitektur) di tiga universitas terkemuka di Malaysia. Yaitu di Universiti Teknologi MARA (UiTM), Universiti Teknologi Malaysia (UTM), dan Universiti Malaya (UM).
Prof. Ezrin Arbi lahir di Bukittinggi pada 24 Oktober 1936 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari kedua orangtua yang berlatar belakang guru. Ayahnya, Arbi Sutan Rangkayo Nan Gadang, berasal dari Nagari Kubang Putih, Banuhampu, adalah guru tiga zaman sejak masa Hindia Belanda, zaman Jepang hingga Indonesia merdeka. Sedangkan ibunya, Fatimah binti Haji Abdul Malik, seorang tamatan Meisjes School zaman Belanda, berasal dari Nagari Sungai Batang, Maninjau, Kabupaten Agam.
Menjalani masa kecil berpindah-pindah dari Maninjau ke Muara Enim (Sumatera Selatan), lalu ke Padang, mengikuti tugas ayahnya sebagai guru, Erzin mulai pendidikan dasar di Sekolah Nippon Indonesia (HIS zaman Belanda) di Maninjau di zaman Jepang. Naik kelas III ia pindah ke SNI Alang Laweh (Padang), dan setahun kemudian pindah lagi ke SNI-PSM di Bukittinggi.
Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR) akhir tahun 1948, Ezrin melanjutkan ke SMP 1 Bukittinggi hingga tamat (1951). Berkat nilainya yang bagus untuk Ilmu Pasti Alam (IPA) ia diterima di kelas 1 B2 (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di SMA Birugo Bukittinggi, satu dari hanya dua SMA Negeri di Sumatera Tengah waktu itu. Satunya lagi di Padang. Di antara teman sekelasnya di SMA Birugo Kamardi Thalut, kelak menjadi guru besar dan dekan Fakultas Kedokteran Unand (kini Almarhum).
Tamat SMA dengan predikat lulusan terbaik IPA se-Sumatera Tengah (1954), Ezrin meneruskan ke Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB, waktu itu masih berstatus Fakultas Teknik UI). Setahun di ITB, Ezrin lulus beasiswa Colombo Plan untuk meneruskan pendidikan ke Fakultas Arsitektur, Bangunan dan Perencanaan di Melbourne University, Australia. Setelah memperoleh gelar sarjana muda (Bachelor in Architecture) tahun 1960, dia melanjutkan ke program pascasarjana bidang Perencanaan Kota dan Wilayah (Town and Regional Planning) di universitas yang sama. Dua tahun terakhir di Melbourne, Ezrin juga menyambi kerja di sebuah firma arsitektur swasta di kota itu.
Kembali ke Indonesia tahun 1962, sebagai penerima beasiswa Colombo Plan, Ezrin Arbi menjalani wajib kerja selama tujuh tahun di Kementerian Perindustrian. Dikisahkan dalam buku otobiografinya, Liku Hidup Perantau Minang: Dari Bukit Tinggi ke Kuala Lumpur (2016), pada tahun 1968 ia dikirim untuk mengikuti kursus Project Analysis di United National Asian Institute for Economic Development and Planning (UNAIEDP). Institut ini dikelola oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh (Economic Commision for Asia and East Fara) atau ECAFE.
Pengalaman 3 bulan di Bangkok itu yang memantik keinginan Ezrin untuk bekerja di luar negeri, seumpama di lembaga ekonomi dan pembangunan PBB tersebut. Namun untuk bekerja di lembaga itu, saratnya harus punya pengalaman kerja di lebih dari satu negara dengan masa kerja minimal sepuluh tahun. Jelas Ezrin belum cukup syarat. (Bersambung Bagian 2: Hijrah ke Malaysia…)