Telisik Pola Pembangunan Desa Wisata, Dosen Upgrisba Firdaus Raih Titel Doktor dari UI

Dr. Firdaus, M.Si

PADANG, HALUAN — Untuk mendorong pembangunan desa wisata, dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif dan berbasis pada potensi desa dan disertai panduan pembangunan desa wisata yang memanfaatkan dana desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Panduan itu dinilai bisa diinisiasi oleh Kementerian Pariwisaya dan Ekraf atau Kementerian Desa PDTT.

Hal itu disampaikan Dr. Firdaus, M.Si, saat mempertahankan disertasinya dalam Ujian Promosi Doktor pada Program Pascasarjana Sosiologi, Fisip, Universitas Indonesia (UI) yang berlangsung secara virtual, Kamis (30/12). Dosen pada Universitas PGRI Sumatra Barat (Upgrisba) itu mengajukan disertasi berjudul ‘Interelasi Institusi, Jaringan, dan Kognisi dalam Pembangunan Desa Wisata: Studi Kasus Desa Wisata Pujonkidul, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Penelitian ini, kata Firdaus, dilatarbelakangi fakta empiris bahwa desa wisata di Indonesia telah tumbuh siginifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data pemetaan potensi desa tahun 2018 mencatat sebanyak 1.734 desa wisata di Indonesia. Jumlah itu meningkat 75,08 persen dari tahun 2014. Fakta lainnya, kehadiran pariwisata di pedesaan telah berkontribusi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

“Penelitian ini mengadopsi kerangka analisis social forces yang diperkenalkan Jens Beckert (2010), yang juga mengkritik pendekatan parsial dalam melihat outcome ekonomi. Dengan menempatkan wisata sebagai market field, penelitian ini melihat hubungan interelatif antara institusi, jaringan, dan kognisi dalam pembangunan desa wisata. Desa wisata Pujonkidul dipilih sebagai studi kasus karena merupakan salah satu desa terbaik dalam membangun desa wisata melalui BUMDes,” katanya.

Dari penelitian yang dilakukan Firdaus, tampak bahwa proses institusionalisasi pembangunan Desa Wisata Pujonkidul berlangsung melalui tiga tahap. Pada level individu, ditandai oleh terbentuknya kelompok EO Capung Alas. Pada level organisasi, ditandai dengan terbentuknya Pokdarwis Capung Alas serta unit baru BUMDes. Sementara pada level institusi, ditandai dengan dibentuknya Peraturan Desa (Perdes) tentang pembangunan wisata di desa.

“Sekaligus juga dibentuk berbagai aturan formal untuk lembaga-lemabga yang bekerja di sektor wisata desa tersebut,” katanya lagi.

Kemudian, sambungnya, aktor utama dalam pembangunan desa wisata adalah pemerintah desa yang mendelegasikan sebagian kewenangannya pada kelompok EO Capung Alas pada fase sprout dan start-up yang merintis dan membuka wisata edukasi. Ada pun Pokdarwis Capung Alas, pada fase growth merintis dan mengembangkan objek wisata Sumber Pitu.

“Lalu kepada BUMDes Sumber Sejahtera, pada fase develop yang mengembangkan dan mengelola Kafe Sawah dan sektor wisata desa secara terintegrasi. Jaringan aktor yang terlibat dalam proses pembangunan desa wisata ini mengalami perluasan bersamaan dengan fase pembangunan desa wisata,” ujarnya lagi.

Kemudian, katanya, ditemukan bahwa kognisi top leader tentang desa, desa wisata, dan pembangunan desa wisata sangat komprehensif, terukur, dan sistematis dalam menentukan visi pembangunan desa wisata. Bagi top leader, budaya, alam, dan kehidupan sosial masyarakat desa adalah potensi alamiah desa yang unik dan dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata.

“Untuk itu, pembangunan desa wisata harus dilakukan dengan menempatkan warga desa sebagai pemilik, pengelola, dan pelaku wisata. Dengan pola demikian, desa wisata akan memberi dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi warga desa,” ucapnya lagi.

Desa wisata dan pembangunan desa, katanya lagi, telah menjadi faktor pemicu perubahan kelembagaan di desa. Kognisi top leader telah mengubah arah kebijakan pembangunan desa. Sehingga dengan perubahan itu, struktur kelembagaan desa juga mengalami perubahan, yang turut menjadikan perubahan pada struktur dan komposisi aktor dan jaringan yang terlibat dalam pembangunan.

“Aktor-aktor dan jaringan baru, yang ada di lingkar jaringan top leader, menjadi aktor utama dalam pembangunan desa wisata. Keberadaan aktor dalam jaringan ini memudahkan pembentukan aturan kelembagaan di desa. Proses ini menunjukkan bahwa ketiga social forces telah bekerja secara interelatif dan menjadi faktor kunci pembangunan desa wisata,” katanya lagi.

Secara praktis, katanya, penelitian ini menawarkan beberapa rekomendasi, di antaranya untuk membangun desa wisata, penting untuk mengintegrasikan visi dan arah pembangunan desa wisata, dukungan dari pemerintah, dan jaringan. Kedua, pembangunan desa wisata perlu dilakukan secara lokal oleh pemerintah dan warga desa melalui BUMDes agar masyarakat bisa menjadi pemilik, pengelola, dan pelaku usaha wisata di desa.

“Ketiga, pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat mengadopsi praktek baik pembangunan desa wisata melalui BUMDes, dengan mendesain pembangunan sektor wisata melalui BUMD. Keempat, Mengacu pada trend perkembangan desa wisata secara nasional, maka diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mendorong pembangunan desa wisata berbasis potensi desa. Panduan ini bisa diinisiasi oleh Kemenparekraf atau Kemendes PDTT,” katanya lagi. (h/rga)

Exit mobile version