Prof. Dr. Amir Syarifuddin : Sepanjang Hidup untuk Belajar dan Mengajar

OLEH: Riga Firdaus Asril

Prof. Dr. Amir Syarifuddin telah berjalan melewati titian hidup sejak zaman kolonial hingga hari ini. Sebagai pembelajar ilmu agama yang tekun, terutama pada bidang ushul fiqh, lebih dari separuh umurnya yang saat ini menginjak 84 tahun, diabdikan sebagai pengajar di IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang. Namun, dahaganya akan ilmu tak pernah lepas.

Saat ini, kondisi Prof Amir sudah sulit mendengar. Masa tuanya saat ini banyak dihabiskan di beranda rumah, sambil membaca buku dengan alat bantu. Meski demikian, Haluan sempat berkomunikasi dan mewawancarai Prof Amir beberapa waktu yang lalu, yang kemudian diperkuat dengan keterangan dari pihak keluarga dan sejawatnya.

*

Lahir di sebuah desa kecil di kaki Gunung Singgalang pada 9 Mei 1937, Amir Syarifuddin mengaku tidak pernah mengetahui wajah ayahnya yang wafat pada 1938. Ia hanya mengetahui, nama ayahnya adalah Hakam Labai Mudo. Sedari kecil, Amir dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai petani dan penjual bibit cabai pada hari-hari pakan di Padang Panjang. Dari usaha itu, Amir dibesarkan.

Amir tumbuh saat Nusantara masih di bawah kuasa Kolonial Belanda. Kondisi itu pula yang membuat anak-anak seusianya tidak mudah mendapatkan penghidupan yang layak dan menjanjikan. Seperti anak-anak lainnya, Amir kecil menjalani masa kecil dengan dengan penuh keprihatinan dan kekurangan.

“Ibu saya selalu berpesan, agar saya kelak menjadi orang yang mandiri dan senantiasa menjalankan ibadah,” kata Amir mengenang pesan ibundanya.

Sebab keterbatasan yang dialami keluarganya, Amir sejak kecil sudah membantu orang tuanya menjajakan kue dan rokok di kampungnya. Kemudian, menginjak usia tujuh tahun, Amir masuk ke sekolah rakyat di Pakan Sinayan. Keinginan untuk bersekolah, kata Amir, muncul dari diri sendiri, tanpa paksaan. Oleh sebab itu pula, ia selalu giat belajar dan berhasil meraih prestasi, dengan nilai-nilai yang selalu memuaskan, dan menjadi kebanggaan guru serta kawan-kawannya.

Setamat dari SR di Pakan Sinayan, pada tahun 1950 Amir melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Kurai, di Bukittinggi. Namun, karena saat itu Amir juga bekerja di sebuah pabrik rokok untuk membantu ekonomi keluarga, maka setahun kemudian keluarga memindahkannya ke Madrasah Thawalib Padang Panjang agar fokus belajar pada bidang agama.

Tak disangka, Amir hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan setingkat Tsanawaiyah di Thawalib. Lebih cepat dari anak-anak lain yang melahapnya dalam waktu tiga tahun. Kemudian, Amir melanjutkan pendidikan ke tingkat Aliyah di lembaga yang sama. Di sini, Amir menjadi murid langsung dari Buya Abdul Hamid (Angku Mudo). Pimpinan Madrasah Thawalib Padang Panjang kala itu.

Bagi Amir remaja, belajar kepada Angku Mudo meninggalkan kesan yang amat mendalam. Angku Mudo menurutnya adalah guru yang amat luar biasa, karena keluasaan ilmu dan bacaanya, serta cara dan metode pembelajaran yang diterapkan membuat pelajaran yang diberikan sangat mudah untuk dicerna. Saat itu, Angku Mudo mengampu mata pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih. Oleh karena itu pula, dua bidang ilmu itu pula yang paling disenangi Amir, hingga kemudian mengantarkan dirinya menjadi guru besar di kemudian hari.

Amir tidak menamatkan pendidikan di Thawalib. Sebab di tengah berjalan, Amir mengikuti tes masuk Pendidikan Guru Agama (PGA) di Padang. Di sekolah kedinasan itu, Amir menjadi murid termuda dengan usia yang baru 15 tahun. Amir pun sejatinya sudah menjadi pegawai atau digaji pemerintah. Sebab, PGA adalah sekolah untuk mempersiapkan guru-guru agama.

Setamat dari PGA pada 1955, Amir ditugaskan menjadi guru agama ke Sukabumi. Tidak berlangsung lama, Amir pun memutuskan untuk berhenti. “Alasan saya berhenti saat itu, aspek intelektualitas tidak meningkat. Bahkan hanya jalan di tempat,” ucap Amir.

Keinginan dan dahaganya akan ilmu akhirnya mengantarkan Amir ke ADIA, singkatan dari Akademi Dinas Ilmu Agama. Tepatnya pada jurusan syariah. Di ADIA, Amir kembali mendapatkan kesempatan untuk mendalami dua bidang ilmu yang disenanginya, Fiqih dan Ushul Fiqih.

ADIA sendiri adalah lembaga pendidikan Islam milik Departemen Agama di samping Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Pada tahun 1960, dua lembaga itu pun diintegrasikan dan kemudian melahirkan Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, yang juga tumbuh menjadi cikal bakal IAIN Imam Bonjol.

Lalu pada tahun 1961, Amir berhasil menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, dan berhasil menjadi lulusan terbaik saat itu. Amir pun langsung mendapat kesempatan mengajar di sana dengan jabatan asisten pada mata kuliah Ushul Fiqih. Di saat bersamaan dan tempat yang sama, Amir melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral.

Tahun 1982, Amir pun meraih gelar doktor pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia merupakan orang kedua yang mendapatkan gelar doktor di lembaga tersebut. Setelah sebelumnya, Dr. Aminuddin Rasyad. Dalam sidang akhir promosi doktor, Amir mengajukan disertasi berjudul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkup Adat Minangkabau”, yang kelak dibukukan dan mendapatkan banyak penghargaan.

Dipaksa Menjadi Rektor

Prof Amir Syarifuddin menceritakan, bahwa perjalanannya sebagai rektor IAIN Imam Bonjol Padang selama dua periode terpaksa ditempuh karena dia adalah satu-satunya pimpinan Perguruan Tinggi di Sumbar yang bergelar doktor. “Beberapa bulan setelah saya memperoleh gelar doktoral dari IAIN Ciputat, saya diminta memimpin IAIN Imam Bonjol,” katanya.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin. IST

Amir akhirnya dilantik menjadi rektor UIN Imam Bonjol pada 9 Maret 1983. Meski pada awalnya, Amir menolak permintaan Zakiyah Drajat yang saat itu Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam. Penolakan itu didasari karena ia tidak menyukai jabatan yang di dalamnya terdapat urusan keuangan. Sederhananya, ia tak ingin terseret pada hal-hal yang bisa membawanya melakukan perbuatan yang tidak elok.

“Karena sudah tidak lagi bisa mengelak, akhirnya saya menerima untuk memimpin IAIN Imam Bonjol Padang, dan akhirnya keterusan hingga menjabat rektor selama dua periode. Kurang lebih saya menjabat selama 9 tahun 9 bulan. Saya mau meneruskan jadi rektor untuk periode kedua karena tidak ada calon lain yang diajukan oleh senat. Saya calon tunggal,” katanya.

Penolakan atas jabatan, menurut Amir, adalah usaha untuk mempertahankan prinsip kehati-hatian. Menurutnya, jabatan hanya akan menambah beban karena merasa ada yang memantau dan terasa dikejar-kejar. “Jabatan rektor itu sangat mudah untuk tergoda, karena disitu uang bisa mengalir hanya lewar tanda tangan,” kata Amir lagi.

Oleh karena itu pula, Amir menilai akan lebih baik jika ia hanya menjadi pengajar atau dosen biasa. Sebab dengan begitu, dirinya bisa fokus mengajar. “Menjadi pengajar adalah cita-cita saya sejak dulu, tapi tidak pernah terlintas di benak saya untuk menjadi seorang pimpinan di perguruan tinggi. Saya hanya fokus menambah isi kepala dengan belajar dan mengajar,” katanya lagi.

Pada masa-masa setelah tak lagi menjabat rektor, Amir mengaku lega karena bisa leluasa dalam menambah ilmu pengetahuan lewat membaca maupun mengajar. “Setelah tidak lagi menjabat sebagai rektor yang saya lakukan adalah terus mengembangkan diri dalam keilmuan agama Islam, dengan terus mengajar walaupun telah pensiun sejak tahun 2007,” tuturnya.

Menjelang berakhirnya masa jabatan jadi Rektor IAIN, Amir mengaku mendapatkan dua kehormatan. Pertama, menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia wilayah Sumbar. Kedua, diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari utusan daerah Provinsi Sumbar pada periode 1992-1997.

Prof Amir bercerita, ia pernah bertemu dengan Gubernur Sumbar saat itu, Hasan Basri Durin, di ruang kerjanya. Gubernur saat itu meminta Prof. Amir untuk menjadi ketua MUI. Saat itu, ia pun menyampaikan penolakan secara halus. “Saya khawatir akan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak sejalan dengan sikap saya,” kata Amir saat itu.

Bukan tanpa alasan, saat itu Prof Amir menyaksikan langsung situasi dilematis yang dihadapi Buya Hamka sewaktu menjadi Ketua MUI Pusat, yang berhadap-hadapan atau kerap berbeda dengan kebijaksanaan Menteri Agama waktu itu.

Amir Syarifuddin pun akhirnya menerima dan mengemban jabatan sebagai Ketua MUI Sumbar sejak jabatan sebagai Rektor IAIN berakhir pada 1992. Selepas itu, ia kemudian menjalankan kepemimpinan dua periode IPTI, dengan masing-masing lama jabatan selama lima tahun. Setelah itu, Amir menjadi pejabat di MUI Pusat, sebagai Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) pada tahun 2005 hingga 2010.

Sejak 2007 lalu, tepatnya di usianya yang sudah 70 tahun, Prof Amir pun pensiun menjadi ASN. Meskipun begitu, ia tetap mengajar di Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Imam Bonjol. Bahkan pada tahun 2019 lalu, Prof Amir tetap menerima mahasiswa dan dosen-dosen untuk belajar dan berdiskusi di kediamannya.

Namun, saat ini kondisi Prof Amir sulit untuk mendengar dan lebih banyak menghabiskan hari tuanya sambil membaca buku dengan bantuan alat. Dari aktivitasnya itu, tergambar jelas betapa ia begitu mencintai dunia pendidikan tinggi. Bahkan selain menjadi guru besar, Amir Syarifuddin dalam beberapa kesempatan juga lebih banyak mendengar serta belajar. (*)

Exit mobile version