LAPORAN: Muhammad Fauzi & Rudi Gatot
Museum menjadi salah satu wadah untuk kembali mengenang sejarah bangsa, termasuk di dalamnya mengenang dan menghargai jasa para pahlawan yang telah membingkiskan kemerdekaan bagi Indonesia. Sayangnya, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak 2020 lalu, membuat banyak museum sejarah perjuangan di Sumatra Barat (Sumbar) sepi dari kunjungan.
Belum banyak yang tahu, bahwa di Kampuang Alang Laweh, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, terdapat sebuah rumah panggung yang sejatinya adalah museum. Beruntung ada penanda bertuliskan “Rumah Tempat Kelahiran Bagindo Aziz Chan” serta umbul-umbul Merah Putih di atap dan pintu rumah itu.
Rumah kayu sederhana itu adalah rumah masa kecil Bagindo Aziz Chan, pahlawan nasional dan Wali Kota Padang kedua. Rumah itu resmi menjadi museum sejak 17 Agustus 2019 silam, dan memuat banyak peninggalan serta kisah tentang Bagindo Aziz Chan, pejuang yang meninggal dunia di tengah pertempuran sengit melawan Belanda pada tahun 1947, dan tutup usia dalam usia 35 tahun.
“Sebelum jadi museum, rumah ini sempat jadi kontrakan seperti kebanyakan rumah di Kota Padang. Baru beberapa tahun ini pemerintah menjadikan rumah ini sebagai cagar budaya dan objek wisata sejarah. Untungnya perabotan yang ada di sini masih asli. Sekarang, dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang,” Syahrul selaku pengelola dan pemandu di museum tersebut, saat berbincang-bincang dengan Haluan, Selasa (9/11).
Selama pandemi Covid-19 melanda, Syahrul mengakui bahwa jumlah pengunjung ke museum rumah kelahiran Bagindo Aziz Chan turut berkurang. Praktis, hanya beberapa hari terakhir yang kebetulan berdekatan dengan 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan, kunjungan ke museum itu sedikit meningkat.
“Setiap hari sekitar 50 pengunjung, dan bisa lebih banyak pada akhir pekan. Baru-baru ini ada kelompok mahasiswa yang datang membuat tugas ataupun merekam video. Selama pandemi, kebanyakan pengunjung memang mahasiswa dan pelajar yang biasanya ada keperluan membuat tugas,” ujar Syahrul lagi.
Suasana sepi juga terpantau di Gedung Joeang 45 Sumatra Barat, di mana tak terlihat adanya aktivitas pengunjung di gedung bersejarah di pinggir Jalan Samudera, Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat itu, Selasa (9/11). Pintu museum bahkan terkunci, dan tak ada aktivitas sama sekali di dalam gedung.
Dari seorang pekerja bangunan di Gedung Joeang tersebut, diketahui bahwa gedung bersejarah itu memang tengah direnovasi sejak beberapa minggu belakangan. “Sepertinya tidak buka, karena sedang ada perbaikan plafon dan pengecoran tembok di bagian belakang gedung,” ujarnya kepada Haluan.
Haluan kemudian bergerak menuju Museum Adityawarman di Jalan Diponegoro No. 10, Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, yang menyimpan banyak koleksi benda-benda bersejarah. Menurut Kepala Seksi Pelayanan dan Edukasi Museum Adityawarman, Vandrowis, mulai landainya Pandemi Covid-19 di Kota Padang sebetulnya telah membuat kunjungan ke museum perlahan normal.
“Selama Oktober hingga November, ada kenaikan. Rata-rata pengunjung museum memang didominasi kalangan pelajar dan mahasiswa. Selain untuk liburan atau rekreasi, mereka juga datang untuk membuat tugas dari dosen atau guru masing-masing,” ucapnya lagi.
Merosot Tajam di Bukittinggi
Sepinya kunjungan ke museum perjuangan selama pandemi, turut dirasakan sejumlah museum di Kota Bukittinggi. Seperti jumlah kunjungan di Museum Rumah Kelahiran Proklamator Bung Hatta dan Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma Kota Bukittinggi, yang memang jauh merosot karena pandemi Covid-19.
Petugas Musem Rumah Kelahiran Bung Hatta Bukittinggi, Amzal, mengatakan bahwa selama pandemi jumlah kunjungan ke museum itu sangat sepi. Meskipun saat ini pandemi Covid-19 mulai terkendali, tetapi jumlah kunjungan masih tak seberapa, dan jauh menurun ketimbang jumlah kunjungan sebelum Covid-19 melanda.
“Sebelum pandemi terjadi, jumlah kunjungan ke Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta bisa mencapai ratusan orang dalam sehari. Apalagi jika momen libur sekolah, libur Lebaran, dan libur akhir tahun, jumlah kunjungan bisa mencapai 800 orang sehari. Penurunan jumlah kunjungan sampai 80-90 persen,” kata Amzal kepada Haluan, Selasa (9/11).
Amzal menyebutkan, untuk saat ini para pengunjung yang mampir memang dominan dari kalangan pelajar dan mahasiswa, yang bahkan datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Pekanbaru, dan Sumatra Utara. Selain itu, beberapa pengunjung juga berasal dari mancanegara seperti Malaysia dan Belanda.
“Karena masih dalam kondisi pandemi, pengunjung yang datang tetap harus mematuhi protokol kesehatan mulai dari memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan melewati pengecekan suhu tubuh. Mudah-mudahan ke depan jumlah kunjungan bisa normal lagi,” ujar Amzal.
Hal yang sama juga terjadi di Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma Kota Bukittinggi. Menurut penjaga museum tersebut, Akhmad Munir, selama pandemi tingkat kunjungan ke museum perjuangan itu memang jauh menurun ketimbang sebelum pandemi.
“Sekarang masih sepi. Kadang ada pengunjung, kadang tidak ada sama sekali. Meski sepi pengunjung, kita tetap buka setiap hari mulai pukul 07.00 sampai 16.00 WIB,” ujar Akhmad Munir yang sudah bertugas di museum tersebut sejak 10 tahun terakhir. (*)