“Di UMC saya belajar lebih berani bersuara sebagaimana mestinya mahasiswa. Ada kegiatan aksi kamisan, juga kajian dan diskusi rutin setiap minggu. Jadi saya merasa selalu produktif. Saya suka karena di sana saya bisa bertemu banyak teman baru sekaligus memperluas wawasan,” kata Rullief.
Kendati demikian, sejak SMP hingga SMA, prestasi akademik tetap menjadi bagian penting dalam perjalanan Rulieff. Saat SMP, ia selalu masuk kelas unggulan dengan peringkat I hingga peringkat III. Di SMA pun ia menorehkan prestasi serupa meski di tengah rasa krisis identitas.
Namun, perjuangannya untuk masuk perguruan tinggi negeri sempat menemui kegagalan. Jalur SNBP dan SNBT yang diharapkannya justru tidak membawa hasil. Situasi itu sempat membuatnya terpuruk.
“Waktu itu saya merasa cukup berprestasi, aktif juga, tapi ternyata tidak lulus PTN. Akhirnya saya gap year. Selama masa itu saya ikut kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris Harau selama tiga bulan. Di sisi lain, saya juga part time di usaha keluarga. Itu jadi kebanggaan tersendiri, karena saya bisa cari uang sendiri dari SMA sampai gap year,” ucapnya.
Dalam setiap langkahnya, motivasi terbesar Rulieff datang dari keluarga. Sebagai anak rantau, ia hanya ingin membuktikan bahwa pilihannya kuliah jauh dari Sumatera Barat adalah jalan untuk membanggakan orang-orang terdekatnya.
“Saya ingin membuktikan pada keluarga kalau saya bisa ‘mambangkik batang tarandam’. Semua proses yang saya jalani ini saya niatkan untuk bunda, ayah, umi, nenek, dan keluarga besar. Mereka yang benar-benar mendukung saya baik moril maupun materil,” tuturnya.
Dengan segala pengalaman yang ia tempuh, Rulieff berharap bisa menjadi sosok yang bermanfaat, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga lingkungan sekitarnya. Ia ingin setiap langkah menjadi batu loncatan untuk masa depan.
“Harapannya saya benar-benar bisa bermanfaat untuk orang-orang di sekitar saya. Semua kegiatan dan proses yang saya lalui semoga menjadi jalan menuju hal yang lebih besar ke depan,” ucap Rullief.