Sementara itu, Ketua Konsorsium Perguruan Tinggi Vokasi Sumbar, Nurul Fauzi, menjelaskan bahwa mesin retort menjadi solusi efektif untuk menjaga kualitas dan rasa makanan agar sesuai standar ekspor.
“Dengan teknologi ini, produk bisa memiliki ketahanan hingga setahun tanpa mengubah rasa aslinya. Proses sterilisasi juga memenuhi standar BPOM, sehingga peluang ekspor ke pasar Eropa dan ASEAN terbuka lebar,” katanya.
Selain ketahanan produk, katanya, efisiensi produksi sebagian besar UMKM di Sumbar masih mengandalkan proses manual, yang memakan waktu dan tenaga besar. “Satu mesin pengemas saja bisa menggantikan empat hingga lima pekerja manual. Kapasitas produksi meningkat empat kali lipat, dan biaya produksi bisa ditekan signifikan,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pihaknya berencana mengembangkan mesin retort skala UMKM, dengan kapasitas 15–25 kilogram, agar lebih sesuai dengan kemampuan produksi pengusaha kecil.
“Selama ini mesin industri terlalu besar dan mahal untuk UMKM. Dengan desain baru ini, kita ingin mereka bisa mandiri, berinovasi, dan tetap efisien,” tutur Nurul.
Dukungan terhadap inovasi tersebut juga datang dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar. Perwakilannya, Endre, menilai pengembangan teknologi pangan lokal merupakan langkah strategis untuk memperkuat ekonomi berbasis kearifan lokal.














