Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat pada Anak Bisa Akibatkan Resistensi

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Namun, penggunaannya yang tidak tepat dapat menciptakan resistensi antimikroba yang bahaya bagi kesehatan, terkhususnya pada anak-anak. 

Hal ini diungkapkan Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik IDAI, Prof DR dr Edi Hartoyo SPA(K) saat berlangsungnya Media Briefing secara virtual dengan topik ‘Antimicrobial Resistance pada Anak’ yang digelar Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI), Selasa (10/12).

Menurut Edi, resistensi antimikroba atau AMR merupakan suatu kondisi di mana bakteri dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat-obatan atau antibiotik akibat penggunaan kadar antibiotik yang tidak tepat.

Saat ini, AMR tengah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia kesehatan. Efek yang diberikan AMR menyerang masyarakat dari berbagai kalangan, salah satu yang paling rentan adalah anak-anak. 

Anak-anak berisiko parah terkena AMR karena anak-anak masih memiliki sistem kekebalan  yang lemah. 

Edi Hartoyo mengatakan pada dasarnya masih terdapat penggunaan antibiotik yang tidak tepat di Indonesia. 

Kesalahan yang pertama adalah 50% resep di fasilitas kesehatan primer dan rumah sakit Indonesia masih mengandung antibiotik. Sementara, untuk kesalahan kedua adalah antibiotik masih diresepkan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti diare dan flu.

Edi menyampaikan tidak semua obat dari segala penyakit adalah antibiotik dan seharusnya antibiotik hanya digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri, bukan virus.  Kesalahan lainnya yang seringkali menimbulkan AMR pada anak-anak adalah karena 86,1% masyarakat Indonesia masih menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal, seharusnya penggunaan antibiotik harus didiskusikan terlebih dahulu dengan dokter dan tidak boleh asal digunakan. 

Antibiotik yang dijual bebas menyebabkan banyak orang tua akhirnya memberikan sembarang antibiotik kepada anak. Padahal, belum tentu penyakit yang diidap sang anak membutuhkan antibiotik. 

Edi menyampaikan penyakit umum yang sering dialami oleh anak-anak, seperti batuk dan pilek tidak membutuhkan antibiotik karena kedua penyakit tersebut 60% disebabkan oleh virus.

Sebaliknya, antibiotik hanya boleh digunakan bila batuk atau pilek yang dialami oleh sang anak disebabkan oleh bakteri.  Ciri-ciri batuk dan pilek yang disebabkan oleh bakteri dilihat dari ingus yang berwarna hijau kental dan demam tinggi yang berlangsung lebih dari satu minggu. 

Jika penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini tidak sembuh, bahkan setelah mengonsumsi antibiotik, maka ada empat kemungkinan, yaitu telah terjadi resistensi, pemilihan antibiotik tidak cocok, dosis tidak tepat, dan interval pemberian antibiotik tidak sesuai. 

Karena faktor penyebab dan dampak yang diberikan oleh antibiotik begitu beragam, orang tua harus bijak dalam penggunaan antibiotik. Caranya, dengan tidak boleh asal menggunakan antibiotik yang dijual bebas dan harus lebih banyak berdiskusi dengan dokter terkait permasalahan yang ada. 

Hal ini perlu diperhatikan karena AMR tidak hanya memberikan dampak jangka pendek yang membuat bakteri kebal terhadap antibiotik, tetapi juga dampak jangka panjang yang membuat orang lebih lama untuk sembuh dan membutuhkan biaya yang lebih mahal untuk mengobati bakteri yang ada dalam tubuh.

Sebelumnya Ketua PP IDAI Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) menyebutkan tesistensi terhadap antimikroba merupakan masalah serius yang sering ditemui, terutama di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) secara khusus menyebutkan masalah ini sebagai salah satu tantangan besar dalam kesehatan masyarakat dunia saat ini.

“Melalui seminar ini fiharapkan kita bisa paham apa penyebab AMR pada anak, dan bagaimana mengedukasi para orangtua mengenai AMR, serta bagaimana mengatasi tantangan yang ada di Indonesia,” kata Dr Piprim. (h/atv/*)

Exit mobile version