HARIANHALUAN.ID – Anak-anak adalah laksana embun pagi di ujung daun, memancarkan keindahan yang rapuh namun penuh harapan. Dalam kilaunya, tersimpan janji kehidupan yang segar dan baru. Namun, seperti embun yang dapat lenyap oleh sengatan mentari, masa kecil mereka yang berharga dapat tergerus oleh derasnya arus dunia digital. Gadget, bak pusaran air yang memikat di sungai yang deras, terlihat menghibur namun menyimpan bahaya tersembunyi.
Bagi anak di bawah usia lima tahun, mereka adalah tanah yang subur, siap menerima benih ilmu dan kasih sayang, bukan sekadar layar yang berpendar. Jika kita terlalu dini menabur biji digital tanpa batas, akar potensi mereka mungkin tak akan mampu mencengkeram tanah kehidupan dengan kuat. Seperti pohon yang tumbuh tanpa air yang cukup, masa emas tumbuh kembang mereka bisa menjadi kering dan layu.
Dunia gadget adalah taman yang penuh warna, namun bagi anak-anak kecil, warna itu bisa menjadi ilusi. Mata mereka yang semestinya memandang langit biru dan menatap wajah penuh cinta dari orang tua, justru terpaku pada layar yang memancarkan bayangan semu. Tangan-tangan kecil mereka, yang seharusnya menggenggam pasir dan merangkai puzzle kehidupan, malah sibuk menggeser layar, kehilangan keajaiban sentuhan dunia nyata.
Masa emas ini laksana mentari pagi yang hanya bersinar sesaat. Jika kita tak menjaga arah sinarnya, kita mungkin hanya akan menyaksikan bayangan panjang penyesalan ketika senja tiba. Gadget adalah alat, bukan guru. Jangan biarkan ia menjadi mercusuar yang menggantikan cahaya kehangatan keluarga. Tuntunlah anak-anak dalam perjalanan kecil mereka, agar mereka tumbuh sebagai pohon rindang yang berakar kuat dan menaungi masa depan dengan keindahan yang sejati.
Imam Ibn Hazm Rahimahullah berkata:
“Anak kecil hendaknya disibukkan di madrasah untuk mempelajari Al-Qur’an, hadits-hadits, kisah orang-orang shalih dan keadaan mereka, agar tertanam dalam dirinya kecintaan kepada orang-orang shalih.”
Sungguh menyedihkan, ketika seorang ibu, yang seharusnya menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya, malah menjatuhkan mereka dalam kehinaan. Terbuai oleh dunia gadget, ia lupa akan tugas mulianya sebagai pembimbing sejati. Bahkan, lebih ironis lagi, ia memberi perangkat tersebut kepada anaknya, sehingga keduanya terjebak dalam dunia maya yang memisahkan mereka dari realitas kehidupan, seperti dua kapal yang berlayar terpisah tanpa arah yang jelas.
Dengan kebanggaan yang tak terukur, sang ibu berkata kepada teman-temannya, “Lihat, anak saya yang baru berusia empat tahun sudah pandai membuka HP dan menonton YouTube. Hebat, bukan?” Ucapan itu terlontar bagaikan angin yang tak menyadari badai yang sedang mendekat. Namun, saat anak itu tumbuh dewasa, akhlaknya rusak dan tutur kata yang kasar menjadi kebiasaannya, barulah ibu tersebut menyadari bahwa benih kehancuran telah ditanam sejak dini.
Ingatlah, wahai para orang tua, bahwa anak-anak adalah peniru ulung. seperti tanah liat yang lunak, siap dibentuk oleh tangan yang menyentuhnya. Jika orang tua terbuai dalam layar-layar gadget, maka anak-anak pun akan menapaki jejak yang sama. Mereka adalah cermin kecil yang memantulkan perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Jika orang tua membiarkan dirinya tersesat dalam dunia maya, maka anak-anak pun akan mengikuti jejak yang sama tanpa disadari.