MATARAM, HARIANHALUAN.ID – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus berupaya memperkuat kebijakan dan praktik inklusif, antara lain melalui penerapan pedoman SPHERE, prinsip Leave No One Behind (LNOB), serta strategi penanggulangan bencana berbasis komunitas. Prinsip inklusivitas terus digaungkan untuk membangun ketangguhan yang menjadi milik semua, bukan hanya segelintir pihak.
Hal ini diperkuat melalui salah satu rangkaian Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) Tahun 2025 pada Sarasehan Disabilitas Bertutur di Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sabtu (26/4).
Sekretaris Utama BNPB Dr. Rustian, S.Si., Apt., M.Kes. menyatakan bahwa Sarasehan ini menjadi sarana mendengarkan pengalaman nyata dan perspektif penyandang disabilitas dalam konteks kebencanaan.
“Dari pengalaman ini, kita belajar merancang kebijakan yang lebih responsif, berbasis bukti, dan menjadikan penyandang disabilitas sebagai mitra aktif dalam pengambilan keputusan,” ujar Rustian.
“Kali ini penyandang disabilitas tidak hanya menjadi objek kelompok rentan yang harus diselamatkan, namun menjadi subjek kuat yang selalu terlibat dalam penanggulangan bencana,” pungkasnya.
Rustian menegaskan walaupun penyandang disabilitas memang memiliki kerentanan spesifik, namun pada saat yang sama mereka memiliki kekuatan dan kapasitas besar jika diberi ruang, akses, dan peran yang setara sehingga diperlukan pengarusutamaan di seluruh siklus penanggulangan bencana, mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Tidak ada ketanggungan tanpa keadilan dan tidak ada keadilan tanpa inklusi, keterlibatan ini bukan hanya saat melakukan evakuasi, melainkan juga akses terhadap informasi, keterlibatan dalam perencanaan serta pemulihan pascabencana yang memperhatikan kebutuhan dan suara penyandang disabilitas,” tegas Rustian.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Lilik Kurniawan mengulas kembali pentingnya implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana Bagi Penyandang Disabilitas.
Lilik mengatakan bahwa sesuai dalam peraturan tersebut, upaya yang harus dipastikan adalah perlindungan penyandang disabilitas, menjamin hak dan kebutuhan dalam penanggulangan bencana serta komitmen pemerintah dan pemerintah daerah penyelenggara penanggulangan bencana dengan memenuhi aspek-aspek yang memprioritaskan penyandang disabilitas.
Selain prioritas perlindungan, aspek yang harus dipenuhi adalah menyusun data terpilah sehingga mengetahui kebutuhan yang sesuai dengan penyandang disabilitasi, memberikan aksesibilitas sesuai kategori disabilitas, akomodasi yang layak, pelibatan dalam penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas.
Selain itu, First Secretary Kedutaan Besar Australia Catherine Meehan menuturkan komitmen Indonesia yang didukung melalui program kerja sama Australia – Indonesia yaitu SIAP SIAGA menjadi salah satu implementasi nyata lahirnya berbagai program berbasis inklusivitas untuk mengakomodir suara dan pendapat penyandang disabilitas. Harapan kedepannya para penyandang disabilitas tidak hanya menjadi penerima manfaat, namun turut menjadi penggerak ketangguhan bencana di Indonesia.
Di samping itu, Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo mengemukakan Peraturan BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana menetapkan kewajiban penyediaan unit layanan disabilitas. Saat ini terdapat empat provinsi yang telah menginisiasi pembentukan unit layanan disabilitas secara terorganisir, antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Sarasehan ini mengundang berbagai komunitas penyandang disabilitas untuk berbagi pengalaman, pembelajaran serta menyajikan rekomendasi dalam perbaikan maupun pengembangan program penguatan kapasitas bagi penyandang disabilitas.
Adapun pengalaman ini disampaikan oleh Edy Supriyanto dengan disabilitas fisik dari Layanan Inkusi Disabilitas Penanggulangan Bencana (PB) Jawa Tengah; Joko Widodo dengan disabilitas fisik dan Syaiful Anam dengan disabilitas mental dari Unit Layanan Disabilitas PB Provinsi Jawa Timur; Desderdea Kanni selaku dengan disabilitas fisik dan Sriyanti dengan disabilitas fisik dari Unit Layanan Disabilitas PB Provinsi Nusa Tenggara Timur; Sri Sukarni dengan disabilitas fisik, Fitri Nugrahaningrum dengan disabilitas netra dan Try Andri Dinosi dengan disabilitas tuli dari Unit Layanan Disabilitas PB Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Setelah berbagi diskusi dan pengalaman, diskusi ini turut ditanggapi oleh Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Sinta M Iqbal, Deputi Bidang Pencegahan BNPB Dra. Prasinta Dewi, M. A. P dan Kepala Kantor Caritas Germany Indonesia Cipto Laksono.
Pada akhir kegiatan, Prasinta mengatakan bahwa penyandang disabilitas telah banyak berkolaborasi di bidang pengurangan risiko bencana dan memiliki potensi maupun kemampuan yang dapat terus dikembangkan. Seperti halnya prinsip bencana adalah unsur bersama, seluruh unsur pentaheliks memiliki tugas yang sama untuk mengembangkan kapasitas penyandang disabilitas guna memperkuat ketangguhan bangsa menghadapi potensi bencana.
“Sudah tugas kita untuk menjahit rekomendasi dan diskusi ini menjadi suatu kebijakan maupun peraturan yang memperkuat program penguatan kapasitas penyandang disabilitas, mari bersama-sama kita kembangkan potensi penyandang disabilitas untuk menggaungkan ketangguhan bangsa menghadapi bencana,” tutup Prasinta.
Sebagai infomasi, kegiatan ini menjadi sarana pengumpulan dan penggalian informasi yang akan digunakan untuk penyusunan Buku Disabilitas Bertutur dalam upaya pengurangan risiko bencana. (*)