BNPB juga menyoroti bahwa saat ini dunia tengah menghadapi krisis iklim yang berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat dan meningkatkan risiko bencana. Perubahan iklim global yang ditandai dengan peningkatan suhu bumi, pergeseran pola cuaca, dan meningkatnya intensitas bencana seperti banjir, kekeringan, serta gelombang panas, turut memperluas penyebaran penyakit berbasis vektor seperti dengue, malaria, dan zoonosis.
Oleh karena itu, kesiapsiagaan pandemi harus mempertimbangkan konteks krisis iklim. Pendekatan Resilient and Sustainable Systems for Health (RSSH) menjadi selaras dengan Adaptasi Perubahan Iklim (API), karena sistem kesehatan yang tangguh terhadap pandemi juga harus mampu menghadapi dampak perubahan iklim terhadap rantai pasok obat, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial-ekonomi.
Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) perlu dikonvergensikan sebagai pendekatan terpadu untuk membangun ketangguhan masyarakat. Kedua pendekatan ini memiliki tujuan yang sama: melindungi kehidupan, lingkungan, dan aset ekonomi dari berbagai ancaman dengan cara yang saling melengkapi.
Melalui partisipasi dalam kegiatan COPPER, BNPB menegaskan komitmennya untuk memperkuat kolaborasi lintas negara dalam membangun sistem kesehatan dan kebencanaan yang tangguh, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pangarso menekankan, ketangguhan tidak dibangun oleh satu institusi atau satu negara, tetapi oleh solidaritas, sinergi, dan kepedulian antarbangsa.
BNPB percaya bahwa resiliensi berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui integrasi antara sistem kesehatan, tata kelola risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim, dengan menempatkan komunitas sebagai pusat penggerak ketangguhan.
Rekomendasi Strategis BNPB untuk Sistem Ketahanan Global
Sebagai hasil pembelajaran dari forum internasional ini, BNPB mengusulkan tiga rekomendasi utama untuk memperkuat sistem ketahanan nasional dan global terhadap pandemi serta krisis iklim:
			













