Sarasehan Komunitas Sungai, Mengembalikan Jati Diri Sungai Sebagai Sumber Peradaban Bangsa

Suasana saat berlangsungnya saresehan

JAWA TIMUR, HARIANHALUAN.ID – Indonesia memiliki sejumlah sungai yang menjadi sumber penghidupan manusia. Untuk itu sungai harus dijaga secara konsisten sehingga kebutuhan hidup masyarakat melalui kehadiran sungai dapat terpenuhi.

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Ph.D. dalam siaran persnya Selasa (16/5) mengatakan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami kondisi kritis terus meningkat. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS, kemudian meningkat menjadi 39 pada tahun 1992. Selanjutnya pada tahun 1998 sebanyak 62 DAS mengalami kritis dan tahun 2020 mencapai 108 DAS.

Hal ini tentunya dapat memicu potensi bencana seperti banjir ketika hujan lebat, tanah longsor, erosi hingga kekeringan pada musim kemarau jika sungai tidak dikelola dengan baik.

Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pangarso Suryotomo mengatakan bahwa perhelatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) Tahun 2023 menjadi sarana untuk mengembalikan jati diri sungai sebagai sumber peradaban bangsa.

“Sungai menjadi urat nadi peradaban selama ribuan tahun, upaya mereduksi dampak kerusakan DAS wajib menjadi tanggung jawab seluruh pihak dan keniscayaan,” ujar Pangarso dalam sambutannya pada Sarasehan Hari Kesiapsiagaan Bencana bertajuk Ketangguhan Komunitas Daerah Aliran Sungai di Pendopo Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Selasa (16/5).

“Melalui kegiatan ini, kita akan mengadvokasi hak-hak sungai dengan mengembalikan fungsinya sebagai sumber peradaban masyarakat,” tutur Pangarso.

Adapun gerakan pelestarian sungai telah dilakukan oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Kegiatan sarasehan turut menghadirkan berbagai penggerak komunitas sungai untuk berbagi pengalaman serta praktik baik pengelolaan sungai yang dapat direplikasi pada wilayah lainnya di Indonesia.

Salah satu narasumber yang hadir yaitu Usman Firdaus dari komunitas DAS Ciliwung, Jakarta. Pada konteks ini, pengelolaan sungai Ciliwung wajib dilakukan dari hulu sampai hilir secara menyeluruh, tidak boleh dikelola sebagian saja. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan budaya untuk tidak membuang sampah ke area Sungai Ciliwung terus diperkuat kepada masyarakat Jakarta.

Kemudian narasumber lainnya adalah Kaharuddin Muji dari komunitas DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. Guna menjaga kelestarian Sungai Jeneberang, dibangun Sekolah Sungai untuk dapat membangun pengetahuan terkait pelestarian dan pengelolaan sungai sehingga dapat tersampaikan secara lintas generasi.

Selanjutnya I Gusti Rai Ari Temaja dari Komunitas DAS Tukad Bindu, Bali. Nilai adat dan masyarakat yang selalu berkesinambungan dapat membuat Sungai Tukad Bindu mampu menggerakan masyarakat setingkat “banjar” atau RW dalam mengelola sampahnya masing-masing dan menjaga kejernihan sungai.

Gerakan mitigasi vegetasi juga dilakukan untuk menjaga kawasan DAS Bengawan Solo di Gresik. Hal ini disampikan oleh perwakilan Komunitas DAS Bengawan Solo, Robah, yang mana sebanyak 200 hektar berisikan kurang lebih 500 ribu pohon telah ditanam dengan kolaborasi bersama dunia usaha sehingga kelangsungan dan kelestarian kawasan Sungai Bengawan Solo tidak terganggu oleh aktivitas masyarakat maupun dunia usaha.

Gerakan perempuan turut menjadi penguat dalam pemulihan peradaban sungai. Hal ini dilakukan oleh Komunitas DAS Ogan Palembang, Sumatera Selatan. Jana Marlina, perwakilan Komunitas DAS Ogan Palembang, menyampaikan bahwa para perempuan turut berpartisipasi aktif dalam pembersihan sungai hingga melahirkan suatu kesenian baru melalui “Rahim Musi” sebagai sarana edukasi pengelolaan sungai kepada masyarakat sekitar.

Kemudian Vivi Norvika Hariyantini dari Komunitas DAS Kapuas, Kalimantan Barat, menekankan kolaborasi bersama generasi muda untuk menciptakan semangat dan inovasi baru dalam menjaga kelestarian sungai tanpa melupakan kearifan lokal daerah.

Terakhir, Kepala DMC Dompet Dhuafa Arif Rahmadi Haryono menyampaikan kolaborasi relawan dalam pemulihan dan pengelolaan DAS yang berorientasi pada penciptaan ekosistem yang tangguh dan siap siaga terhadap segala risiko bencana yang ada di sekitar area sungai.

Tidak hanya narasumber, turut hadir para penanggap pada diskusi tersebut, salah satunya Guru Besar Universitas Pertahanan Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si yang menyampaikan bahwa gerakan masyarakat jika difasilitasi oleh pemerintah pusat maupun daerah mampu memperkuat gerakan pelestarian sungai maupun membangun ketangguhan masyarakat.

“Pemerintah pusat dan daerah harus memberi ruang koordinasi untuk mengakomodir gerakan masyarakat, khususnya pada gerakan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana,” jelas Syamsul.

“Hal ini harus dituangkan dalam sebuah program yang didukung oleh pemerintah pusat dan daerah, melalui sarasehan ini masyarakat telah bergerak, sekarang bagaimana pemerintah dapat memfasilitasi dengan suatu langkah besar melalui program prioritas untuk bangsa ini,” terang Syamsul.

Adapun penanggap lainnya meliputi Ahli Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Dr. Lilik Kurniawan, S.T,. M.Si, Ahli Sumber Daya Air dan Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Dr. Ing. Ir. Agus Maryono IPM dan Gender Specialist SIAP SIAGA Lutri Huriyani.

Secara garis besar, guna mengembalikan dan memperkuat sungai sebagai sumber peradaban bangsa, dibutuhkan aksi kolektif yang melibatkan kolaborasi dan konektifitas antar sektor, adaptasi melalui edukasi dan pengetahuan, nilai adat yang memperkuat ekosistem sungai serta kehidupan maupun penghidupan masyarakat dapat terus berlanjut serta pelibatan disabilitas dan kesetaraan gender untuk memperkuat ketangguhan berkelanjutan. (atv/*)

Exit mobile version