Sementara itu, kegiatan workshop bertujuan untuk membantu masyarakat agar dapat menggunakan sumber daya dan kapasitas lokal secara efektif. Suhardah, warga Desa Pasauran sedikit berbagi kisah saat terjadi tsunami dengan bahaya terusan atau tsunami atipikal tahun 2018 lalu.
“Banyak orang berlarian teriak-teriak tsunami, tsunami!. Saya bingung harus bagaimana, apakah membantu tetangga, mengamankan harta benda atau segera berlari menyelamatkan diri dan anak-anak,” jelasnya.
Peserta workshop lainnya, Makrubi menambahkan, “Malam itu saya sedang bersantai di desa, terdengar suara minta tolong dari arah pantai dan orang berlarian ke dataran tinggi, tapi saya justru berlari ke arah pantai. Saya lihat air laut, surut jauh tidak seperti biasanya. Saya dan pengurus Masjid menghidupkan pengeras suara dan mengumumkan agar warga mengungsi ke dataran tinggi.”
Potret tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya masyarakat paham untuk memberikan peringatan dan menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat terkait risiko bencana dan tanda ancaman bahaya masih perlu ditingkatkan, termasuk bagaimana masyarakat merespon peringatan bahaya yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
Peringatan tersebut harus diinterpretasi menjadi suatu aksi kesiapsiagaan hingga penyelamatan diri. Maka, tanpa adanya sistem peringatan dini bencana berbasis masyarakat yang menyeluruh, pemberian peringatan dini hingga evakuasi akan menjadi kurang efektif.
Demi mewujudkan sistem peringatan dini bencana yang efektif berdasarkan kearifan lokal, maka workshop ini dilaksanakan untuk menghasilkan beragam protokol seperti protokol peringatan dini, pemantauan bahaya, diseminasi peringatan dini, dan evakuasi.