JAKARTA, HARIANHALUAN.ID – Masyarakat Indonesia terus berbenah diri untuk membangun resiliensi berkelanjutan. Hal ini sangat beralasan karena wilayah nusantara rawan akan potensi bahaya yang berujung bencana. Salah satu praktik baik yang dilakukan di Bali dibagikan pada sesi hari ke-2 Global Forum for Sustainable Resilience di Jakarta, Kamis (12/9).
Praktik baik di Bali yang disampaikan perwakilan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) I Putu Suta Wijaya berprinsip pada elemen kunci, yaitu berpusat pada manusia. Ini menjadi bagian dari lima element kunci dari resiliensi berkelanjutan. Wijaya menyampaikan, FPRB Bali melakukan strategi dengan menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti akademisi, peneliti, praktisi, organisasi non-pemerintah, dunia usaha maupun media massa.
Mereka memiliki sumber daya sebagai kekuatan dalam membangun resiliensi masyarakat Bali. Wijaya menjelaskan, kontribusi yang diberikan dalam kemitraan ini terwujud dalam berbagai bentuk atau pun aktivitas.
Wijaya mencontohkan, pihaknya bersama pemerintah daerah baik tingkat kabupaten, kota dan provinsi untuk bersama-sama menyusun dokumen kesiapsiagaan atau peraturan daerah mengenai penanggulangan bencana.
“Kami membuat rencana kontinjensi untuk bahaya gempa Kota Denpasar, melakukan kolaborasi dengan relawan. Bersama dengan BPBD kami menyelenggarakan training of trainer,” imbuh Wijaya.
Bersama dengan lembaga PBB, UNDP, elemen penanggulangan bencana Bali mendukung penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tsunami. Program village tsunami ready salah satunya disematkan di wilayah Tanjung Benoa.
Pengarusutamaan resiliensi berkelanjutan tersebut terpusat pada masyarakat, yang tentunya berada di garis terdepan saat bencana terjadi.
Pada kesempatan itu Wijaya menyampaikan hal yang sangat khas hidup di masyarakat Bali, yaitu adanya desa dinas dan desa adat. Modalitas sosial ini berkontribusi dalam membangun resiliensi di tingkat paling bawah, yaitu keluarga.
“Di desa dinas ada desa tangguh bencana (destana), sedangkan di desa adat ada desa adat tangguh bencana (datana),” ujarnya.
Wijaya menyampaikan, terkait dengan penanggulangan bencana, pemuka desa adat akan menambahkan tugas itu dalam peran warga. Pembelajaran baik dialami saat pandemi Covid-19, Bali cepat pulih dari situasi saat itu.
Dengan nilai kearifan lokal, masyarakat Bali patuh terhadap adat yang berlaku di masyarakat. Namun ketika di dalam masyarakat belum tumbuh kesadaran terhadap bencana, mereka terbuka untuk mendapatkan pemahaman, baik dari FPRB maupun pihak lain yang memiliki kapasitas.
Praktik baik yang dialami di Bali ini merupakan implementasi konkret dari agenda global, yang tentunya diselaraskan dengan prioritas dan kebutuhan lokal.
Topik tersebut menjadi bagian dari sesi diskusi yang mengangkat tema ‘Menerjemahkan Kesepakatan Global di Tingkat Lokal Menuju Resiliensi Berkelanjutan’. Selain dari FPRB Bali, sesi diskusi juga menghadirkan narasumber dari Kepala Kantor UNOCHA Indonesia Thandie Mwape dan perwakilan UCLG Helmi Abidin. (*)