Patologi birokrasi bukan hal baru dalam praktek birokrasi di Indonesia. Patologi mulanya merupakan istilah dalam bidang kedokteran yang mengambarkan berbagai macam penyakit manusia. Namun kemudian istilah patologi ini juga dipakai pada bidang administasi publik, yang mengidentifikasi berbagai penyakit dalam birokrasi.
Pakar administrasi publik Amerika Serikat, Gerald E Caiden (1991) mengatakan, keburukan, penyakit, dan gangguan birokrasi merupakan patologi birokrasi. Keburukan, penyakit, dan gangguan birokrasi bukanlah kegagalan individu yang menyusun organisasi, melainkan kelemahan sistematis organisasi yang menyebabkan individu di dalamnya bersalah melakukan malpraktik. Bahkan Caiden menyebutkan terdapat 175 bentuk penyakit yang dilakukan oleh birokrat (common bureaupathologies).
Sondang P. Siagian (1999), seorang ahli administrasi dan manajemen dari Indonesia, mengklasifikasi lima kategori patologi yang timbul dalam praktek buruk birokrasi di Indonesia. Pertama, patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi. Kedua, patologi yang disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.
Ketiga, patologi yang timbul karena tindakan para aparat birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif. Kelima, patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Setidaknya lima bentuk patologi birokrasi yang berlangsung selama ini di Indonesia menjadi tantangan bagi Presiden Prabowo untuk mengobatinya. Ibarat penyakit jika masih stadium satu, masih bisa diobati, jika kondisinya sudah stadium lanjut, bisa saja diamputasi organ tubuh yang berpenyakit tersebut.
Salah satu obat manjur untuk mengobati patologi birokrasi adalah keterbukaan informasi publik. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infomasi Publik, biasa disebut Undang-undang KIP.
Tujuan dari Undang-undang KIP ini, sebagaiman terdapat pada pasal 3 adalah a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Sehingga keterbukaan informasi publik menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat dalam memperoleh informasi yang diperlukan.