Fazrol Rozi (NIDN: 0021078601) fazrol@pnp.ac.id
Dosen Politeknik Negeri Padang
Revolusi Industri, yang dimulai pada akhir abad ke-18, seringkali dipandang sebagai tonggak kemajuan manusia, membawa inovasi teknologi dan perubahan besar dalam produksi barang.
Mamun, di balik kisah sukses ini, terdapat sisi kelam yang sering terlupakan. Di Inggris, tempat revolusi ini pertama kali meletus, ribuan pekerja, termasuk anak-anak, dipekerjakan dalam kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi.
Mereka bekerja dalam jam yang panjang, hingga 16 jam sehari, dengan upah minim, di lingkungan yang berbahaya dan tanpa perlindungan keselamatan. Pabrik-pabrik menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi juga menjadi pusat eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi.
Urbanisasi yang cepat menyebabkan kota-kota penuh dengan kawasan kumuh, di mana penyakit dan malnutrisi merajalela, sementara kesenjangan antara pemilik modal dan pekerja semakin melebar.
Sejarah kelam Revolusi Industri ini memberikan pelajaran penting bagi kita saat memikirkan pendidikan vokasi terkhusus di Sumatera Barat. Dalam upaya mempersiapkan tenaga kerja yang siap bersaing di era industri modern, kita tidak boleh mengulang kesalahan masa lalu.
Pendidikan vokasi harus memastikan bahwa selain menguasai keterampilan teknis, para lulusan juga memiliki etos kerja yang berakar pada nilai-nilai moral, keadilan, dan kesejahteraan sosial.
Prinsip “Adat Basandi Sara, Sara Basandi Kitabullah (ABS-SBK)” di Sumatera Barat merupakan pondasi untuk membentuk generasi yang tidak hanya produktif, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial yang kuat.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kemajuan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan hanya akan menghasilkan ketidakadilan, dan kita harus belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Antara Teknologi dan Nilai-Nilai Budaya
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan vokasi memang perlu menyesuaikan diri dengan tuntutan global yang memerlukan keterampilan praktis, teknologi canggih, dan inovasi.
Dunia usaha dan dunia industri terus bergerak cepat dengan teknologi terbaru yang memerlukan tenaga kerja siap pakai yang adaptif. Namun, jika pendidikan vokasi hanya difokuskan pada keterampilan teknis tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal, ada risiko hilangnya identitas budaya yang telah menjadi ciri khas masyarakat.
Adat dan agama merupakan dua hal yang sangat dijunjung tinggi di Sumatera Barat. Prinsip ABS-SBK yang berarti “adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur’an” menunjukkan bagaimana masyarakat Minang menempatkan agama Islam sebagai dasar dalam melaksanakan adat.
Dalam konteks pendidikan vokasi, nilai-nilai ini menjadi pedoman dalam membentuk etos kerja, kedisiplinan, dan kejujuran di dunia kerja.
Selain itu, pengintegrasian nilai-nilai budaya dan agama dalam kurikulum vokasi akan menciptakan lulusan yang tidak hanya unggul dalam keterampilan teknis, tetapi juga memiliki moralitas yang tinggi, tangguh dalam menghadapi tantangan, dan berkomitmen pada prinsip-prinsip hidup yang lebih luas.
Keterampilan Teknis dengan Kearifan Lokal
Upaya memperkuat citra pendidikan vokasi di Sumatera Barat harus memperhatikan kearifan lokal yang melekat kuat dalam budaya Minang. Kearifan ini meliputi penghargaan terhadap nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, serta tanggung jawab sosial dan moral.
Dalam konteks pendidikan vokasi, kearifan ini diwujudkan dalam pelatihan-pelatihan yang melibatkan nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat, sehingga lulusan pendidikan vokasi tidak hanya menguasai keterampilan yang relevan di dunia industri, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan lokal.
Misalnya, dalam sektor pariwisata, Sumatera Barat memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya terkelola dengan baik. Melalui pendidikan vokasi yang menekankan pada kearifan lokal, lulusan dapat dilatih untuk mengelola potensi wisata berbasis budaya dan alam yang khas.
Lulusan yang memahami adat dan agama tidak hanya mampu memberikan pelayanan profesional, tetapi juga dapat mengedukasi wisatawan tentang nilai-nilai lokal, sehingga wisatawan dapat merasakan keunikan budaya Minang secara lebih mendalam.
Demikian pula dalam sektor industri kreatif dan kerajinan tangan. Pendidikan vokasi dapat mengembangkan keterampilan teknis dalam pembuatan produk-produk lokal yang bernilai tinggi, seperti songket atau makanan khas, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada.
Ini akan memperkuat citra Sumatera Barat sebagai daerah yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga kaya dengan warisan budaya yang tetap hidup dalam setiap produk yang dihasilkan.
Berbasis Karakter Adat dan Agama
Para pendidik dan pengambil kebijakan di Sumatera Barat perlu menciptakan dan mempertahankan kurikulum yang mengintegrasikan keterampilan teknis dengan pendidikan karakter.
Dengan demikian, para siswa tidak hanya dilatih untuk menjadi pekerja yang efisien, tetapi juga sebagai individu yang mampu mempertahankan nilai-nilai lokal dalam kehidupan profesional mereka.
Misalnya, dalam pelajaran manajemen, siswa bisa diajarkan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip Islam dan adat Minang dalam etika bisnis dan kepemimpinan, sehingga mereka tidak hanya menjadi pemimpin yang efektif, tetapi juga yang bijaksana dan berkepribadian baik.
Menyongsong Masa Depan
Kencangnya Revolusi Industri 4.0 akhirnya melahirkan Society 5.0. Society 5.0 adalah konsep yang diusung oleh Jepang sebagai visi untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi digital dan inovasi dalam konteks sosial dan ekonomi.
Konsep ini muncul sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi oleh masyarakat di era sebelumnya, terutama dalam menghadapi dampak negatif dari Revolusi Industri 4.0, seperti ketidaksetaraan sosial dan krisis lingkungan.
Sejalan dengan Society 5.0, Pendidikan vokasi yang mengharmoniskan antara keterampilan iptek dengan nilai-nilai ABS-SBK merupakan cara Sumatera Barat untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan etika yang kuat.
Dengan pendekatan ini, lulusan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam dunia kerja yang semakin kompleks, sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan agama yang menjadi ciri khas masyarakat Minang.
Pendidikan vokasi yang demikian akan mempersiapkan individu yang siap bersaing di pasar global, sambil tetap menjaga identitas lokal, sehingga menciptakan sinergi antara kemajuan teknologi dan pelestarian budaya.
Ini juga akan berkontribusi pada pengembangan masyarakat yang berkeadilan, berkelanjutan, dan harmonis, di mana kemajuan ekonomi tidak mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya yang penting. (*)