Ronal Watrianthos
(198012122024211011)
ronalwatrianthos@pnp.ac.id
Dosen Politeknik Negeri Padang
Sumatera Barat tengah berada di momentum penting untuk melakukan transformasi pendidikan vokasi. Dengan 212 SMK yang tersebar di 19 kabupaten/kota, enam politeknik, dan satu sekolah vokasi, provinsi ini sebenarnya memiliki modal besar untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas.
Namun, Tingkat Pengangguran Terbuka lulusan SMK yang mencapai 11,02% di tahun 2023- tertinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya – menjadi alarm yang menunjukkan perlunya penyelarasan mendesak antara pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri.
Data Badan Pusat Statistik mengungkapkan potret menarik tentang struktur industri Sumatera Barat. Industri makanan mendominasi 57,44% dari total industri besar dan sedang, dengan 112 perusahaan yang menyerap 8.404 tenaga kerja.
Sektor ini juga menguasai industri mikro kecil dengan 36.559-unit usaha. Namun ironis, dari tujuh institusi Pendidikan vokasi yang beroperasi, hanya terdapat beberapa program studi yang relevan dengan industri makanan: Teknologi Pangan dan Teknologi Rekayasa Pangan di Politeknik Pertanian Payakumbuh, serta Bisnis Jasa Makanan di Politeknik ‘Aisyiyah.
Kesenjangan lebih kentara terlihat di sektor tekstil dan pakaian jadi yang memiliki 27.504-unit usaha. Tidak ada satu pun program studi di tingkat politeknik dan sekolah vokasi yang secara khusus menyasar sektor ini. Padahal, Kota Padang dengan 40 SMK dan 18.435 siswa, serta kabupaten/kota lain dengan ribuan siswa SMK, memiliki potensi besar untuk menyuplai tenaga kerja terampil bagi industri tekstil dan garmen. Jika belajar dari daerah lain, penyelarasan pendidikan vokasi dengan industri unggulan bukanlah sesuatu yang mustahil.
Jawa Timur, misalnya, berhasil membangun ekosistem pendidikan vokasi yang kuat di sektor manufaktur otomotif. Melalui kerja sama dengan industri otomotif Jepang, mereka mengembangkan program studi yang relevan, membangun teaching factory modern, dan menciptakan sistem magang terstruktur. Hasilnya, tingkat penyerapan lulusan mencapai lebih dari 80%.
Jawa Barat memberikan contoh sukses lain dalam pengembangan vokasi bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dengan membangun Bandung Techno Park dan mengembangkan kurikulum berbasis industri digital, mereka berhasil menciptakan link and match yang efektif antara pendidikan vokasi dengan industri TIK. Para lulusan tidak hanya terserap di industri, tetapi juga mampu menciptakan start-up teknologi yang inovatif.
Sumatera Barat memiliki potensi yang tidak kalah untuk melakukan transformasi serupa. Dengan populasi usia produktif mencapai 3,91 juta jiwa (67,9% dari total penduduk), provinsi ini memiliki bonus demografi yang bisa dioptimalkan.
Infrastruktur pendidikan vokasi yang tersebar di 19 kabupaten/kota, dengan total 88.282 siswa SMK dan 7.463 guru, menjadi modal dasar yang kuat untuk membangun sistem pendidikan vokasi yang relevan dengan industri. Transformasi ini bisa dimulai dengan langkah-langkah konkret. D
Di sektor industri makanan, Sumatera Barat bisa mengembangkan teaching factory pengolahan makanan modern di beberapa SMK unggulan. Politeknik dan sekolah vokasi bisa membuka atau memperkuat program studi food technology dengan fokus pada pengolahan hasil pertanian dan perikanan lokal. Kerja sama dengan 112 industri besar makanan bisa dijalin untuk program magang dan sertifikasi kompetensi.
Untuk sektor tekstil dan garmen, provinsi ini bisa belajar dari sukses Jawa Tengah dalam mengembangkan pendidikan vokasi garmen. Program studi fashion technology dan textile engineering perlu dibuka di politeknik, didukung dengan laboratorium desain modern dan fasilitas produksi garmen.
Kerja sama dengan industri tekstil nasional perlu dijalin untuk transfer teknologi dan pengetahuan. Ini bukan hanya tanggung jawab perguruan tinggi, namun Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus juga mengambil peran lebih aktif dengan mengadopsi praktik-praktik terbaik dari daerah lain.
Regulasi yang mendorong kerja sama industri-pendidikan, insentif untuk pengembangan program studi yang relevan, serta dukungan untuk modernisasi fasilitas praktik harus menjadi prioritas. Program “Sister School” dengan SMK unggulan di provinsi lain bisa mempercepat transfer pengetahuan dan teknologi.
Di tingkat operasional, penguatan kompetensi 7.463 guru SMK melalui program pemagangan di industri menjadi krusial. Pengembangan teaching factory yang fokus pada industri makanan, tekstil, dan pengolahan di berbagai wilayah akan memberikan exposure nyata bagi siswa pada proses produksi industri.
Sertifikasi kompetensi yang diakui industri akan meningkatkan daya saing lulusan. Tidak ada yang tidak mungkin, Sumatera Barat memiliki semua modal dasar untuk membangun sistem pendidikan vokasi yang kuat: sumber daya manusia yang melimpah, infrastruktur pendidikan yang tersebar merata, dan basis industri yang solid. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melakukan transformasi sistemik dan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan.
Jika Jawa Timur berhasil dengan vokasi otomotifnya, Jawa Barat dengan teknologi digitalnya, maka Sumatera Barat punya peluang sama besar untuk menjadi pionir pendidikan vokasi di bidang pengolahan makanan dan industri garmen. Dengan warisan budaya entrepreneurship yang kuat dan semangat “mambangkik batang tarandam”, transformasi pendidikan vokasi di ranah Minang bukanlah sekadar mimpi, melainkan sebuah keniscayaan yang sangat mungkin diwujudkan. (*)