Perubahan Iklim Dunia yang Disebabkan Pembakaran Lahan untuk Memenuhi Komoditas Global

Oleh : Mutiara Gita Paluvi (Mahasiswa Magister Universitas Negeri Padang) 

Globalisasi merupakan proses pertukaran informasi terkait dengan berbagai sektor kehidupan masyarakat global seperti, budaya, gaya hidup, teknologi, dan lain sebagainya. Di satu sisi kehadiran globalisasi telah mempercepat interaksi antar negara dalam berbagai sektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya. Namun, disisi lain, adanya globalisasi ini juga membawa dampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya terkait kerusakan lingkungan ataupun perubahan iklim. 

Dalam bidang ekonomi, globalisasi menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan akan komoditas seperti minyak kelapa sawit, daging, dan kayu yang diekspor ke pasar internasional. Hal seperti ini pada akhirnya mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dimiliki suatu negara. Permintaan yang besar terhadap suatu komoditas tak jarang pula sering mengabaikan keberlanjutan lingkungan, misalnya dengan penggundulan hutan dan pembakaran lahan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. 

Salah satu contoh nyata dampak globalisasi terhadap perubahan iklim adalah kebakaran hutan di Indonesia yang sering terjadi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Indonesia sendiri merupakan produsen utama minyak kelapa sawit dunia, yang digunakan dalam berbagai produk global seperti makanan, kosmetik, dan bio-diesel. Permintaan global akan minyak sawit yang murah dan serbaguna mendorong pembukaan lahan secara besar-besaran, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatra. 

Sayangnya, proses ini sering dilakukan dengan cara pembakaran hutan, termasuk lahan gambut, yang mengeluarkan emisi karbon dalam jumlah besar. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 2020 lalu, dimana pembakaran lahan di wilayah Sumatera seperti Jambi dan Riau telah menyebabkan penyebaran kabut asap di berbagai wilayah. Kabut asap yang dihasilkan dari pembakaran lahan di wilayah Sumatera ini tidak hanya mencemari udara lokal, tetapi juga menyebar ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Dampak dari fenomena ini sangat besar mulai dari kerusakan ekosistem yang menghilangkan habitat satwa liar hingga dampak kesehatan masyarakat yang mengalami gangguan pernapasan akibat kabut asap. Tak hanya itu pula, kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran lahan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia juga memiliki dampak yang cukup terasa dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik, baik di tingkat nasional maupun global. 

Dari aspek sosial, bencana kabut asap akibat kebakaran hutan berdampak serius pada kesehatan masyarakat, terutama penyakit pernapasan yang meluas di daerah terdampak. Selain itu, komunitas lokal, termasuk masyarakat adat, kehilangan akses terhadap lahan dan sumber daya yang menjadi sumber penghidupan mereka, menciptakan konflik sosial antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Aspek budaya juga terpengaruh, karena hutan yang menjadi bagian dari identitas dan kearifan lokal masyarakat adat tergantikan oleh perkebunan monokultur, yang mengikis nilai-nilai tradisional dan keberlanjutan.

Sedangkan pada aspek ekonomi, globalisasi yang mendorong ekspor minyak kelapa sawit menciptakan ketergantungan Indonesia pada industri ini sebagai sumber devisa utama. Namun, manfaat ekonomi ini sering kali tidak terdistribusi secara merata, karena keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara masyarakat setempat menghadapi kerugian ekologis dan sosial. 

Pada tingkat global, konsumen di negara maju menikmati produk berbasis sawit dengan harga murah, tetapi tidak menanggung biaya lingkungan yang ditimbulkan. Hal ini mencerminkan ketidakadilan struktural dalam sistem ekonomi global. Dan terakhir dalam aspek politik, kebakaran hutan memicu tekanan diplomatik dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang terkena dampak kabut asap lintas batas. Dimana Indonesia sering kali dipandang gagal dalam menegakkan regulasi lingkungan yang efektif untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan kerangka hukum dan implementasi kebijakan lingkungan yang lebih tegas.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut terdapat beberapa solusi alternatif yang ditawarkan. Pertama, perlu dilakukannya suatu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor minyak sawit, dengan mengembangkan sektor yang lebih ramah lingkungan seperti. Kedua, pemberdayaan masyarakat lokal dan masyarakat adat harus menjadi prioritas. Upaya seperti ini dilakukan dengan cara memberikan hak pengelolaan atas lahan hutan mereka untuk mendorong praktik yang lebih berkelanjutan. Ketiga, kerjasama internasional harus diperkuat, terutama dalam pendanaan untuk konservasi dan transfer teknologi ramah lingkungan dari negara maju ke negara berkembang.

Selain itu, pemerintah juga harus menerapkan kebijakan yang lebih tegas terhadap pembukaan lahan baru dan penegakan hukum terhadap pembakaran hutan. Sehingga dengan diterapkannya beberapa solusi tersebut Indonesia dapat mengatasi tantangan kebakaran hutan, sekaligus berkontribusi pada upaya global dalam memitigasi perubahan iklim. (*). 

Exit mobile version