Oleh: Putri Sondang Siregar (Mahasiswa Magister PPKn Universitas Negeri Padang)
Kasus Adelina Lisao, seorang pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia akibat penyiksaan yang dilakukan majikannya sendiri di Penang, Malaysia tahun 2018 silam. Kasus ini menggambarkan wajah sesungguhnya dari perbudakan modern yang masih terjadi di era globalisasi saat ini. Kasus ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan terhadap pekerja migran, tetapi juga memperlihatkan dampak buruk dari lemahnya perlindungan hukum dan kebijakan negara dalam melindungi warga negaranya.
Kasus Adelina menunjukkan bagaimana eksploitasi terhadap pekerja migran sering kali dipicu oleh kemiskinan dan kurangnya mata pencaharian serta pendidikan di daerah asal. Banyak perempuan-perempuan lain seperti Adelina yang berasal dari keluarga miskin di NTT yang seringkali menjadi korban perbudakan modern akibat kebutuhan ekonomi yang mendesak. Tidak hanya di kota-kota besar yang mudah mengakses teknologi sebagai alat untuk mendapatkan informasi dalam bentuk yang instan. Namun kini, di desa-desa kecil sudah merasakan dampak globalisasi itu sendiri. Alhasil, dengan informasi yang belum jelas benar dan keabsahannya banyak pekerja migran dari Indonesia yang nekat mencoba peruntungan di negara orang. Sehingga tak jarang kasus seperti Adelina terulang kembali akibat tuntutan ekonomi.
Hal ini tentunya menimbulkan trauma mendalam tidak hanya bagi keluarga korban, namun juga seluruh keluarga di Indonesia yang memiliki anggota keluarga yang terpaksa harus bekerja sebagai pekerja migran dan meninggalkan tanah air.
Selain itu, budaya patriarki yang seringkali memandang perempuan dari kelompok ekonomi lemah sebagai tenaga kerja ‘murah’ yang mudah dimanfaatkan, menyebabkan praktik ini kerap merusak nilai-nilai budaya lokal yang seharusnya menjunjung tinggi martabat perempuan yang memiliki hak asasi sejak ia dilahirkan.
Secara ekonomi, kasus ini dapat ditinjau dari segi kurangnya lowongan pekerjaan dan upah yang minim di daerah asal. Di sisi lain, lemahnya regulasi seringkali menyebabkan pekerja migran seperti Adelina menjadi korban eksploitasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa rakyat Indonesia yang bekerja di luar negeri dilandasi oleh faktor ekonomi, selain itu hal ini juga menunjukkan kurangnya peluang kerja yang layak di Indonesia sehingga banyak warga negara lebih memilih mencoba peruntungan ke negara tetangga yang jelas menawarkan gaji yang lebih besar.
Kasus Adelina Lisao menyoroti lemahnya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Meskipun ada perjanjian bilateral antara Indonesia dan Malaysia. Namun, penegakan hukum terhadap pelaku seringkali tidak tegas. Misalnya dalam kasus Adelina, majikannya awalnya dibebaskan oleh pengadilan Malaysia akibat kurangnya bukti. Hal ini jelas memicu protes internasional, dan tentunya ini mencerminkan tantangan diplomasi Indonesia dalam melindungi warganya ditengah dinamika globalisasi.
Adapun solusi yang dapat ditawarkan oleh pemerintah terhadap pekerja migran Indonesia haruslah lebih menekankan kepada keselamatan dan keamanan seluruh pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri. Selain itu, agen tenaga kerja yang memiliki andil besar dalam hal keberangkatan pekerja migran ini harus diberikan pengawasan ketat karena nyawa dan keselamatan pekerja migran merupakan suatu kewajiban.
Sementara itu, untuk pekerja migran sendiri perlu diberikan edukasi mengenai hak-hak mereka dan mekanisme cara pelaporan apabila terjadi sebuah pelanggaran. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini perlu adanya aplikasi bilik aduan pekerja migran yang langsung terhubung ke pihak yang berwenang. Serta peran pemerintah dalam pemberian jaminan keselamatan bagi para pekerja migran.
Kesimpulan :
Kasus Adelina Lisao adalah pengingat bahwa perbudakan di era modern masih menjadi ancaman serius di era globalisasi. Dengan pendekatan komprehensif melalui edukasi, perlindungan hukum, dan pemberdayaan ekonomi, Indonesia dapat mengambil langkah konkret untuk melindungi warganya dari kasus eksploitasi serupa yang mungkin saja terjadi di masa depan. (*).