Oleh : Amri Suryanto (Mahasiswa Magister Universitas Negeri Padang)
Di era globalisasi, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Salah satu perangkat yang paling berpengaruh adalah ponsel pintar / Smartphone. Penggunaan ponsel pintar di kalangan siswa di sekolah telah menjadi fenomena global, memberikan kemudahan dalam akses informasi dan komunikasi. Namun, fenomena ini juga memunculkan tantangan baru. Salah satunya adalah penggunaan yang berlebihan yang dapat memecah fokus siswa dan terburuknya membentuk mental siswa yang tidak sehat disebabkan ketergantungan dan kurangnya pengawasan akan penggunaan dan kebijakan yang ada sehingga banyak sekolah di luar negeri melakukan pembatasan penggunaan ponsel pintar di kalangan siswa, untuk mengurangi dampak yang dihasilkannya tanpa melarang sepenugnya.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan pembatasan penggunaan ponsel pintar di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi belajar dan mengurangi gangguan dari media sosial, permainan, serta konten negatif lainnya. Negara-negara seperti Prancis dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, sudah memulai langkah ini dengan mewajibkan siswa untuk menaruh ponsel mereka selama jam pelajaran. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif dan mengurangi ketergantungan siswa terhadap perangkat elektronik.
Melihat fenomena ini, Indonesia, sebagai negara yang sedang mengalami perkembangan pesat dalam bidang pendidikan dan teknologi, juga menghadapi tantangan serupa. Di beberapa sekolah di Indonesia, pembatasan ponsel pintar mulai diterapkan untuk mengatasi gangguan yang ditimbulkan oleh perangkat ini selama proses belajar. Salah satu contohnya di SMA Islam Terpadu Al Fityah mulai menerapkan pembatasan dengan mengumpulkan Smartphone kepada wali kelas di saat jam pembelajaran tidak menggunakannya dan mengmbalikan ketika pulang sekolah. Namun, apakah pembatasan ini merupakan solusi yang tepat atau justru membatasi potensi siswa dalam memanfaatkan teknologi secara positif ?
Pada dasarnya globalisasi membawa dampak yang signifikan terhadap cara kita mengakses informasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Ponsel pintar/ smartphone, sebagai produk teknologi global, memfasilitasi akses tanpa batas ke berbagai sumber informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran. Namun, globalisasi juga membawa tantangan berupa penyebaran informasi yang tidak selalu sesuai dengan norma budaya lokal dan nilai-nilai kebangsaan yang ada, sehingga filter ganda dilakukan di kalangan sekolah.
Di satu sisi, ponsel pintar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan akses kepada siswa untuk belajar secara mandiri melalui aplikasi edukasi, e-book, atau video pembelajaran. Akan tetapi, di sisi lain, ponsel pintar juga dapat mengalihkan perhatian siswa dari pelajaran dan memfasilitasi penyebaran konten negatif yang dapat merusak mental dan ideologi mereka. Hal ini menjadi perhatian penting dalam konteks pendidikan di Indonesia, mengingat pengaruh globalisasi yang kuat dalam membentuk pola pikir dan perilaku generasi muda.
Menurut saya pembatasan penggunaan ponsel pintar di sekolah, meskipun kontroversial, memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan suasana belajar yang lebih fokus. Dengan mengurangi ketergantungan siswa pada ponsel, mereka dapat lebih konsentrasi pada pelajaran dan kegiatan yang lebih produktif, seperti diskusi, eksperimen, dan pengembangan keterampilan sosial. Namun, pembatasan ini tidak berarti menentang teknologi secara keseluruhan. Sebaliknya, ini merupakan langkah untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara bijak dan tidak mengganggu tujuan utama pendidikan. Dengan pengawasan yang tepat, ponsel pintar bisa tetap dimanfaatkan untuk tujuan edukasi, misalnya dalam pencarian informasi atau partisipasi dalam kelas daring yang mendukung pembelajaran.
Saya sebagai mahasiswa Magister Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), melihat pembatasan ponsel pintar di sekolah sebagai langkah yang perlu diambil dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat teknologi dan kebutuhan untuk mempertahankan nilai-nilai kebangsaan serta moralitas dalam pendidikan. Di tengah globalisasi yang membawa dampak baik positif maupun negatif, penting bagi kita untuk menyaring informasi yang diterima oleh generasi muda agar tetap sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan gotong royong.
Selain itu, pendekatan yang lebih konstruktif dapat dilakukan dengan mengintegrasikan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran, seperti penggunaan ponsel pintar untuk mencari referensi atau mengikuti kursus daring yang relevan. Oleh karena itu, kebijakan pembatasan seharusnya tidak hanya berbicara tentang pembatasan, tetapi juga tentang pengelolaan teknologi yang lebih bijak, memastikan bahwa siswa dapat memanfaatkan ponsel pintar untuk meningkatkan kualitas belajar tanpa mengabaikan pengembangan karakter dan nilai-nilai nasional.
Pada akhirnya pembatasan penggunaan ponsel pintar di sekolah di luar negeri memberikan pelajaran penting bagi Indonesia dalam menghadapi dampak globalisasi terhadap pendidikan. Meskipun teknologi membawa banyak manfaat, pembatasan penggunaannya selama jam pelajaran bisa menjadi solusi untuk mengurangi gangguan dan meningkatkan fokus siswa. Namun, pembatasan tersebut harus disertai dengan kebijakan yang memastikan siswa tetap dapat memanfaatkan teknologi secara positif. Dari perspektif globalisasi, ini adalah kesempatan untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan yang membentuk karakter generasi muda Indonesia. (*).