Pertama-tama yang harus kita ketahui bahwa sebagian besar diaspora tersebut tidak kehilangan rasa cintanya terhadap tanah air tempat mereka lahir dan dibesarkan sebelum berpindah domisili karena sebab-sebab yang diuraikan di atas. Bahkan rasa cinta tanah air ini juga diwariskan kepada keturunan mereka yang mungkin lahir di tanah rantau antara lain dengan tetap memberikan nama anak yang “khas” Indonesianya, mengajarkan bahasa Ibu kepada generasi baru tersebut, selalu menceritakan tentang keluarga dan tanah kelahiran sang orangtua dan hal-hal lain yang kental berbau ketanahairannya. Dengan kemajuan teknologi, generasi-generasi baru ini dapat lebih terhubung dengan tanah kelahiran orang tuanya berikut dengan sanak keluarga yang ada di sana.
Mereka ini yang kemudian menjadi semacam duta tidak langsung dalam menyiarkan keberadaan Indonesia kepada masyarakat luar negeri. Sampai saat ini, masih banyak orang-orang asing yang justru lebih mengenal Bali dibandingkan Indonesia yang menjadi negara naungannya. Bahwa Indonesia adalah negara dengan 16 ribu lebih pulau-pulau besar dan kecil, memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah serta lebih dari tujuh ratus suku bangsa yang mendiaminya; semua perlu diperkenalkan secara global untuk menjamin eksistensi ke depannya. Tugas ini tidak melulu menjadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri saja, tetapi justru lebih efektif dilakukan oleh para diaspora yang sudah berada dan membaur dengan masyarakat asing di berbagai negara.
Tidak jarang pula para diaspora tersebut yang menduduki posisi strategis dan penting di negara tempat merantaunya. Yang paling nyata contohnya adalah para akademisi asal Indonesia yang ada di berbagai universitas luar negeri. Mereka ini seringkali memprioritaskan mahasiswa asal Indonesia sebagai bimbingannya, sehingga dapat membantu transfer pengetahuan dan teknologi kepada generasi muda yang ingin melanjutkan pendidikannya. Banyak pula peluang beasiswa, pendanaan lembaga swadaya masyarakat sampai ke skema finansial skala sedang sampai besar yang dihantarkan oleh para diaspora ini untuk dapat diprioritaskan kepada penerima (grantee) yang berasal dari Indonesia.
Maka sekali lagi tentunya sangat jauh panggang dari api untuk mempertanyakan nasionalisme dari mereka diaspora tersebut, hanya karena mereka secara fisik terpisah dari tanah airnya. Justru kalau kita mau berpedas lidah, tentunya nasionalisme para petinggi dan pejabat yang suka bermain-main dengan amanah yang dipercayakan kepadanya yang justru harus dipertanyakan. Mungkin karena ketidakbecusan mereka dalam mengelola negara ini yang menutup kesempatan bagi banyak anak bangsa untuk dapat bersumbangsih, sehingga mereka merasa lebih baik berada di luar tanah kelahirannya demi menunjukkan rasa nasionalisme di atas keperluan untuk meneruskan eksistensi dirinya. (*)