Oleh: Muhammad Nazri Janra (Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand)
Sebagai orang yang pernah tinggal selama nyaris lima tahun di Negeri Paman Sam untuk melanjutkan pendidikan, serta menyinggahi beberapa negera lainnya dalam kurun waktu yang sama untuk kepentingan akademis, tentunya sedikit banyak bisa terlihat bagaimana kondisi hidup di masing-masing tempat. Untuk negara maju seperti Amerika Serikat, yang melandasi status kewarganegaraannya berdasarkan kelahiran di tanah Amerika (Amandemen ke-14 Konstitusi AS) dan proses naturalisasi, banyak fasilitas yang menjamin kenyamanan hidup warganya.
Bahkan fasilitas ini juga diperluas kepada para pendatang yang masih berstatus imigran legal, mengingat adanya aturan kewarganegaraan berdasarkan aturan naturalisasi yang disebutkan di dalam konstitusi mereka. Sehingga jika seseorang dari negara dunia ketiga seperti Indonesia menjadi pendatang legal di negara tersebut (dan juga negara-negara maju lainnya), bisa dipastikan terasa perbedaan taraf hidup yang sangat signifikan dengan negara asal.
Selain alasan kelayakan hidup tadi, mengejar tingkat pendidikan yang lebih baik dengan banyaknya lembaga pendidikan bertaraf global di negara-negara maju tersebut serta pekerjaan dengan upah yang tinggi juga menjadi faktor penarik bagi mereka yang jamak dikenal dengan istilah “diaspora” tersebut. Banyak yang menganggap bahwa motivasi diaspora yang menjadi pekerja migran tersebut semata untuk kesejahteraan pribadi.
Memang tidak bisa ditampik jika bayaran dan kesejahteraan yang lebih tinggi menjadi faktor pemicu utama, ditambah dengan perbedaan harga tukar mata uang antarnegara tempat bekerja dengan rupiah membuat gaji para diaspora ini benar-benar “terasa”. Perbedaan kurs ini yang sangat mungkin menjadikan para diaspora pekerja atau pekerja migran Indonesia (PMI) ini tercatat sebagai penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor minyak dan gas dengan catatan angka sebesar USD14,2 miliar atau Rp227 triliun pada tahun 2024 yang baru lalu. Ini tentu jumlah fantastis yang tidak sedikit dalam peranannya menjadi penyokong pembangunan negara.
Lalu ketika ada oknum pejabat yang kebetulan menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil bernyanyi sumbang dengan menyangsikan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh para diaspora tersebut. Pernyataan tersebut disampaikan saat menjawab pertanyaan mengenai banyaknya orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dan beralih kewarganegaraan. Sebenarnya pernyataan ini tidak mengejutkan keluar dari seorang Bahlil, yang walaupun menjabat sebagai seorang menteri, tetapi memiliki track record “malprestasi” yang membuat banyak dari kita bertanya-tanya kenapa masih dipertahankan sebagai seorang pejabat publik. Terakhir kebijakan yang ditelurkannya mengenai pelarangan distribusi gas ukuran 3 kilogram di luar agen resmi menyebabkan jutaan rakyat terpaksa antre panjang dan menelan korban dua korban jiwa. Untung saja, katanya, kebijakan ini kemudian dibatalkan.
Dalam tulisan ini mungkin kita tidak akan membahas pernyataan dari oknum menteri tersebut. Tetapi lebih menitikberatkan kepada para diaspora asal Indonesia dan peranannya terhadap negara tercinta ini. Mungkin karena secara fisik para diaspora tersebut tidak berada di negara asalnya yang seringkali menjadikan banyak pihak meragukan bagaimana mereka dapat berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia yang telah ditinggalkannya.
Pertama-tama yang harus kita ketahui bahwa sebagian besar diaspora tersebut tidak kehilangan rasa cintanya terhadap tanah air tempat mereka lahir dan dibesarkan sebelum berpindah domisili karena sebab-sebab yang diuraikan di atas. Bahkan rasa cinta tanah air ini juga diwariskan kepada keturunan mereka yang mungkin lahir di tanah rantau antara lain dengan tetap memberikan nama anak yang “khas” Indonesianya, mengajarkan bahasa Ibu kepada generasi baru tersebut, selalu menceritakan tentang keluarga dan tanah kelahiran sang orangtua dan hal-hal lain yang kental berbau ketanahairannya. Dengan kemajuan teknologi, generasi-generasi baru ini dapat lebih terhubung dengan tanah kelahiran orang tuanya berikut dengan sanak keluarga yang ada di sana.
Mereka ini yang kemudian menjadi semacam duta tidak langsung dalam menyiarkan keberadaan Indonesia kepada masyarakat luar negeri. Sampai saat ini, masih banyak orang-orang asing yang justru lebih mengenal Bali dibandingkan Indonesia yang menjadi negara naungannya. Bahwa Indonesia adalah negara dengan 16 ribu lebih pulau-pulau besar dan kecil, memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah serta lebih dari tujuh ratus suku bangsa yang mendiaminya; semua perlu diperkenalkan secara global untuk menjamin eksistensi ke depannya. Tugas ini tidak melulu menjadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri saja, tetapi justru lebih efektif dilakukan oleh para diaspora yang sudah berada dan membaur dengan masyarakat asing di berbagai negara.
Tidak jarang pula para diaspora tersebut yang menduduki posisi strategis dan penting di negara tempat merantaunya. Yang paling nyata contohnya adalah para akademisi asal Indonesia yang ada di berbagai universitas luar negeri. Mereka ini seringkali memprioritaskan mahasiswa asal Indonesia sebagai bimbingannya, sehingga dapat membantu transfer pengetahuan dan teknologi kepada generasi muda yang ingin melanjutkan pendidikannya. Banyak pula peluang beasiswa, pendanaan lembaga swadaya masyarakat sampai ke skema finansial skala sedang sampai besar yang dihantarkan oleh para diaspora ini untuk dapat diprioritaskan kepada penerima (grantee) yang berasal dari Indonesia.
Maka sekali lagi tentunya sangat jauh panggang dari api untuk mempertanyakan nasionalisme dari mereka diaspora tersebut, hanya karena mereka secara fisik terpisah dari tanah airnya. Justru kalau kita mau berpedas lidah, tentunya nasionalisme para petinggi dan pejabat yang suka bermain-main dengan amanah yang dipercayakan kepadanya yang justru harus dipertanyakan. Mungkin karena ketidakbecusan mereka dalam mengelola negara ini yang menutup kesempatan bagi banyak anak bangsa untuk dapat bersumbangsih, sehingga mereka merasa lebih baik berada di luar tanah kelahirannya demi menunjukkan rasa nasionalisme di atas keperluan untuk meneruskan eksistensi dirinya. (*)