Sekarang bagaimana, tanya yang lain: kini Kik Tinggi tu kulabu se nampak di ambo. Caliak lah di bawah jam Gadang tu, basalemak, panuah dek pedagang asongan. Penggalan cerita lapau/kedai tersebut adalah penilaian murni dari masyarakat rantau. Bagi masyarakat Ranah pula, khususnya setelah Pilwako usai, saya sering membaca komentar-komentar di media sosial tentang Kota Bukittinggi. Contohnya: agak barek karajo Ramlan jo Ibnu nampaknyo, banyak nan rusak dan harus dipaelok an nyo.
Dari penggalan komentar-komentar tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa masyarakat menaruh harapan kepada pemimpin baru yang diketahui sudah punya berpengalaman, dan sudah pernah terbukti makan tangannya. Mereka tidak berteka teki lagi tentang bagaimana suasana kepemimpinan kotanya di masa depan.
Potensi Pengembangan Wisata Jalan Kaki di Bukittinggi
Merujuk kembali pada tulisan saya beberapa hari menjelang Pilwako Bukittinggi tempo hari di media Haluan ini. Saya ada menyinggung tentang potensi wisata jalan kaki untuk dikembangkan di Kota Bukittinggi.
Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing kota. Beberapa hal yang merupakan anugrah Allah sebagai faktor pendukung, di antaranya adalah cuaca yang bersahabat, kontur kota yang berbukit menampilkan keindahan.
“Wisata Jalan Kaki” seperti konsep “arukute” di Jepang dapat dikembangkan di Bukittinggi dengan merancang rute yang menghubungkan berbagai objek wisata di sekitar kota. Tentu ada yang bertanya, apa untungnya mengembangkan wisata jalan kaki? Pertama, jalan kaki itu sehat, orang Jepang rata-rata berjalan 6.010 langkah sehari.
Jika prilaku jalan kaki ini dikembangkan dan dikemas dengan baik, masyarakat kota dan wisatawan akan ikut aktif. Contohnya seperti senam massal di bawah Jam Gadang yang kini rutin setiap hari Sabtu dan Minggu. Itu keuntungan dari aspek kesehatan, dan ini tinggal mengembangkan saja ke jalan kaki.
Kedua, menurut praktisi wisata Ridwan Tulus, penggemar wisata jalan kaki di luar negeri kebanyakannya adalah golongan menengah ke atas. Artinya, jika hal ini dapat dirancang dengan baik dari sekarang, maka tahun kedua atau ketiga jabatan Ramlan dan Ibnu, satu acara besar wisata jalan kaki sudah dapat dilaksanakan.
Ini alat promosi baru dan tidak biasa, namun pengelolaannya tentu dituntut gabungan profesionalisme aparat dan praktisi wisata, karena kelas wisatawan yang jadi target bukan turis ransel lagi. Di Tokyo, tur jalan kaki gratis diselenggarakan secara berkala setiap hari Sabtu dan Minggu.
Ketiga, pengembangan wisata jalan kaki dengan sendirinya akan berdampak positif terhadap jenis wisata lain. Misalnya, akan menaikkan kunjungan wisata sejarah seperti kunjungan ke musium yang kini kurang diminati, serta wisata budaya lainnya. Karena kecenderungannya, para wisatawan luar sangat meminati aspek sejarah dan budaya. Selain itu, wisata jalan kaki juga akan berdampak positif terhadap kebersihan lingkungan. Apa lagi kalau masyarakat sudah sadar dan ikut terlibat aktif, tentu mereka sendiri yang akan memelihara kebersihan dan keindahan kota.