Permasalahan Pengembangan Wisata Jalan Kaki Bukittinggi
Ada beberapa kendala dan solusi yang mungkin dapat dilakukan dalam upaya pengembangan wisata jalan kaki di Bukittinggi walkable city nanti. Masalahnya: Kota ini sekarang kurang ramah terhadap pejalan kaki, trotoar digunakan untuk parkir, paling parah memang di Pasar Banto itu. Zebra cross tidak dihormati pengendara, dan minimnya jalur pejalan kaki yang nyaman.
Solusinya: untuk tahap awal, pengerahan Satpol PP dengan pendekatan humanis akan dapat menyelesaikan masalah. Untuk ke depan, diperlukan penerapan traffic calming measures, seperti zebra cross berwarna cerah dan speed bump (polisi tidur) di beberapa persimpangan pejalan kaki. Diikuti kampanye edukasi untuk pengendara agar menghormati zebra cross, serta penegakan hukum bagi pelanggar. Lalu, pemasangan papan-papan tanda “Bukittinggi Ramah Pejalan Kaki” sebagai peringatan akan turut mendisiplinkan masyarakat.
Bukittinggi yang kecil dan semakin ramai memerlukan strategi kebijakan masa depan yang sangat teliti. Masalah parkir dan pengurangan kendaraan masuk ke jantung kota sangat mendesak untuk dipikirkan. Alternatif solusinya, diperlukan lahan parkir bertingkat dalam radius sekian ratus meter di luar jantung kota. Pengadaan bus transit yang nyaman, moderen dan dan teratur yang hanya mutar-mutar di jantung kota.
Dalam hal ini, pola kerja sama Pemko dengan para pengusaha oplet Bikittinggi, mungkin perlu meniru pola Anies Baswedan dalam mengatasi masalah kesemrawutan transportasi di Jakarta dulu.
Kesimpulan
Pengembangan Bukittinggi Kota Wisata ke depan seharusnya tidak hanya soal PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui peningkatan jumlah wisatawan. Tapi juga membangun lingkungan yang tertib, indah dan nyaman, sambil mendorong wisatawan untuk berjalan kaki.
Wisata jalan kaki mempunyai dampak berganda (multiplier effects). Dengan menata parkir, merapikan pedagang, serta membangun jalur wisata jalan kaki yang aman dan menarik, Bukittinggi dapat menjadi contoh kota wisata berkelanjutan yang modern tanpa meninggalkan nilai budaya lokalnya.
Dengan pendekatan ini, Kota Bukittinggi sebagai barometer pariwisata Sumatera Barat bisa menjadi “The Walking City”. Pemerintahan Ramlan-Ibnu akan dikenang masyarakat lokal dan nasional sebagai pelopor wisata jalan kaki.
Pakar pemasaran menyatakan, inti pemasaran adalah melahirkan sesuatu yang baru. Selain sebagai kota pendidikan dan perdagangan, Bukittinggi juga perlu mengambil peluang dalam pariwisata sejarah, budaya, dan alam yang unggul. Terima kasih, semoga bermanfaat. (*)
Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (Pencinta Wisata Sejarah dan Budaya, Deputi Presiden Minangkabau Diaspora Network Global)