HARIANHALUAN.ID – Saya beri judul tulisan ini sebagai “kado”, tanda ikut bersyukur atas dilantiknya pimpinan baru yang diharapkan dapat membawa Kota Bukittinggi ke arah yang lebih baik lagi di masa depan. Terkait artikel ini, apapun yang saya tuliskan, itu bukan bermaksud ingin menggurui ataupun sok pintar.
Tapi ini hanya sekedar sumbangan pikiran saja yang sifatnya dalam istilah Minangkabau dek pangana ndak sarangkek tumbuah, kok nyampang lupo maingek an. Dengan demikian, sebingkis kado ini tak lain dan tak bukan hanyalah sebagai ungkapan rasa senang dan harapan untuk masa depan saja. Andaikata buah pikiran saya itu susah untuk direalisasikan, maka anggap saja lah ini bahagian dari mimpi saya saja.
Sebagai warga kota, atau sebagai pencinta Kota Bukittinggi, tentu banyak orang merasa senang, dan selamat atas dilantiknya Muhammad Ramlan Nurmatias dan Ibnu Azis, sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bukittinggi terpilih untuk periode masa bakti 2025-2030. Khusus Ramlan Nurmatias, ia dapat diistilahkan sebagai Wali Kota baru stock lama atau muka lama. Karena ia dulu sudah pernah memimpin Bukittinggi, tapi kalah dalam kontestasi Pilwako periode sebelumnya.
Lalu apa hikmah dari kekalahan masa lalu dan kemenangan masa kini, baik bagi Ramlan secara pribadi, maupun bagi warga/pencinta Kota Bukitinggi dalam memandang masa depan?
Ini sebenarnya menarik untuk dibahas dalam berbagai dimensi, tapi saya tidak akan masuk ke wilayah itu. Yang jelas, bagi Ramlan secara pribadi, sebagai manusia biasa tentu tak luput dari salah dan khilaf. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi diri untuk memperbaiki kesalahan dan kekeliruan masa lalu agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Seterusnya bagi masyarakat Bukittinggi pula, tentu kini dapat merasakan perbedaan kepemimpinan dan kebijakan pemerintah dalam dua periode berbeda belakangan ini, yakni dimasa Ramlan Nurmatias periode yang dulu dan di masa Erman Safar periode kemaren. Di sinilah hati saya tergerak untuk menuliskan sebingkis kado ini.
Ramlan dan Ibnu Kini di Zona Nyaman
Bagi saya, pasangan Wako/Wawako Bukittinggi yang baru ini, buat sementara waktu mereka berada di zona nyaman untuk memulai tugas, walaupun tantangannya juga cukup berat. Kenyamanan itu, pertama: ada pada Ramlan yang dinilai sudah berpengalaman. Kedua: Ramlan dulu dinilai berhasil membangun dan meningkatkan imej Kota Bukittinggi sebagai kota wisata.
Dalam salah satu obrolan “carito lapau” di satu sudut Kota Kuala Lumpur, saya pernah dengar ciloteh beberapa orang tokoh Minangkabau rantau: Dulu zaman Ramlan jadi Walikota, nyo badak’i Kik Tinggi ko. Parkir waktu itu nyaman dan taratik, kota barasiah, trotoar rancak pakai taman-taman gai. Bangga wak rasonyo mambaok kawan-kawan Malaysia pulang ka kampuang wak.
Sekarang bagaimana, tanya yang lain: kini Kik Tinggi tu kulabu se nampak di ambo. Caliak lah di bawah jam Gadang tu, basalemak, panuah dek pedagang asongan. Penggalan cerita lapau/kedai tersebut adalah penilaian murni dari masyarakat rantau. Bagi masyarakat Ranah pula, khususnya setelah Pilwako usai, saya sering membaca komentar-komentar di media sosial tentang Kota Bukittinggi. Contohnya: agak barek karajo Ramlan jo Ibnu nampaknyo, banyak nan rusak dan harus dipaelok an nyo.
Dari penggalan komentar-komentar tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa masyarakat menaruh harapan kepada pemimpin baru yang diketahui sudah punya berpengalaman, dan sudah pernah terbukti makan tangannya. Mereka tidak berteka teki lagi tentang bagaimana suasana kepemimpinan kotanya di masa depan.
Potensi Pengembangan Wisata Jalan Kaki di Bukittinggi
Merujuk kembali pada tulisan saya beberapa hari menjelang Pilwako Bukittinggi tempo hari di media Haluan ini. Saya ada menyinggung tentang potensi wisata jalan kaki untuk dikembangkan di Kota Bukittinggi.
Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing kota. Beberapa hal yang merupakan anugrah Allah sebagai faktor pendukung, di antaranya adalah cuaca yang bersahabat, kontur kota yang berbukit menampilkan keindahan.
“Wisata Jalan Kaki” seperti konsep “arukute” di Jepang dapat dikembangkan di Bukittinggi dengan merancang rute yang menghubungkan berbagai objek wisata di sekitar kota. Tentu ada yang bertanya, apa untungnya mengembangkan wisata jalan kaki? Pertama, jalan kaki itu sehat, orang Jepang rata-rata berjalan 6.010 langkah sehari.
Jika prilaku jalan kaki ini dikembangkan dan dikemas dengan baik, masyarakat kota dan wisatawan akan ikut aktif. Contohnya seperti senam massal di bawah Jam Gadang yang kini rutin setiap hari Sabtu dan Minggu. Itu keuntungan dari aspek kesehatan, dan ini tinggal mengembangkan saja ke jalan kaki.
Kedua, menurut praktisi wisata Ridwan Tulus, penggemar wisata jalan kaki di luar negeri kebanyakannya adalah golongan menengah ke atas. Artinya, jika hal ini dapat dirancang dengan baik dari sekarang, maka tahun kedua atau ketiga jabatan Ramlan dan Ibnu, satu acara besar wisata jalan kaki sudah dapat dilaksanakan.
Ini alat promosi baru dan tidak biasa, namun pengelolaannya tentu dituntut gabungan profesionalisme aparat dan praktisi wisata, karena kelas wisatawan yang jadi target bukan turis ransel lagi. Di Tokyo, tur jalan kaki gratis diselenggarakan secara berkala setiap hari Sabtu dan Minggu.
Ketiga, pengembangan wisata jalan kaki dengan sendirinya akan berdampak positif terhadap jenis wisata lain. Misalnya, akan menaikkan kunjungan wisata sejarah seperti kunjungan ke musium yang kini kurang diminati, serta wisata budaya lainnya. Karena kecenderungannya, para wisatawan luar sangat meminati aspek sejarah dan budaya. Selain itu, wisata jalan kaki juga akan berdampak positif terhadap kebersihan lingkungan. Apa lagi kalau masyarakat sudah sadar dan ikut terlibat aktif, tentu mereka sendiri yang akan memelihara kebersihan dan keindahan kota.
Keempat, jika wisata jalan kaki ini dapat dikemas dengan baik, juga akan ada dampak ekonomi langsung terhadap rakyat, khususnya pada setiap rute perjalanan yang akan dilalui oleh wisatawan pejalan kaki. Pemko perlu mendorong agar dihadirkan “lapau-lapau” tradisi yang menjual makanan tradisi jika dikemas pula dengan baik dan elegan dengan tidak meninggalkan nilai tradisinya, bukan tidak mungkin akan menjadi daya tarik tersendiri sebagai ciri khas jati diri budaya (cultural identity) Minangkabau di Kota Bukittinggi.
Kalau mau studi banding, pergilah ke salah satu kampung di seberang Sungai Mekong di Vietnam, di sana ada lapau-lapau tradisi dengan Vietnamese coffee-nya yang sering dicari wisatawan, termasuk proses membuat “galamai” persis seperti di 50 Kota, menjadi daya tarik tersendiri di sana. Suaut ketika dulu, saya menyaksikan para bule-bule berjubel di sana.
Dampak Lain Wisata Jalan Kaki Terhadap Kota Wisata
Dalam sejarah pengembangan satu kota menjadi kota wisata dari nol hingga berhasil pernah terjadi di Sumatera Barat ini, yaitu di Kota Sawahlunto pada zaman Walikota Amran Nur. Saya adalah saksi hidup yang mengikuti perkembangan kota tersebut selama sembilan tahun. Memang semuanya tergantung pada visi seorang pemimpin, dan Ramlan punya itu.
Mungkin strategi komunikasi dan aspek pemasaran, serta dukungan sumber daya terpilih yang perlu dipikirkan. Amran Nur di Sawahlunto benar-benar meninggalkan sebuah “legacy”. Buktinya hingga kini, ketika bicara wisata Sawahlunto nama Amran Nur tetap melekat dan tidak bisa dilepaskan. Legacy yang akan dikenang masyarakat dan akan menjadi kebanggaan anak cucu ini lah yang jarang terpikirkan oleh kebanyakan para pemimpian politik zaman sekarang.
Berikut beberapa dampak pengembangan wisata jalan kaki jika bisa dihadirkan di Kota Bukittinggi:
- Dalam pengembangan pariwisata, ia akan mempromosikan wisata sejarah dan budaya: semisal Jam Gadang, Istana Bung Hatta, Benteng Fort de Kock, Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, Musium Perjuangan, dan lain-lain. Wisata Kuliner: promosi rendang dan nasi kapau misalnya. Untuk itu penataan “Pasa Lambuang” sebagai pusat kuliner tradisi perlu dikembangkan menghadirkan nuansa moderen, tapi tidak meninggalkan aspek tradisi. Penataan para pedagang di Pasa Lereang menjadi satu keperluan bagi membangun kenyamanan pejalan kaki. Suatu saat festival kuliner perlu dirancang khusus, kelas memasak untuk wisatawan, dan kolaborasi dengan platform digital untuk memperluas jangkauan pemasaran tentu juga perlu dipikirkan. Menurut saya, secara berkala lantai dasar Mall Pasar Ateh sekarang bisa di manfaatkan untuk berbagai events. Wisata Belanja: Penataan pusat oleh-oleh dan kerajinan tangan lokal dengan penataan yang menarik serta dengan peningkatan kualitas produk juga perlu ditingkatkan.
- Dalam pengembangan Pendidikan. Dengan memanfaatkan iklim yang sejuk dan nyaman, Bukittinggi dapat menjadi kota pendidikan yang istimewa. Pendirian Institusi Pendidikan tidak perlu berkompetisi secara ketat berebut di lahan sempit dengan daerah lain. Di sini diperlukan wawasan, kerja sama dengan pihak luar negeri sangat diperlukan. Pengembangan pendidikan vocasional sangat diperlukan untuk mengurangi pengangguran. Bagaimana melahirkan program pelatihan berkualitas dan menarik siswa dari berbagai daerah adalah prioritas, dan kerja sama dengan Pemkab Agam sangat potensial mengingat lahan Kota yang terbatas.
- Pengembangan Ekonomi dan Perdagangan. Sebagai kota transit yang strategis berada di persimpangan transportasi Padang-Medan-Pekanbaru, Bukittinggi perlu merancang ulang pembangunan infrastruktur untuk mendukung kelancaran arus barang dan penumpang. Meningkatkan kualitas peran terminal Aue Kuniang, terminal Angkot di Aue Tajungkang. Memikirkan modernisasi Pasar Bawah sebagai pasar tradisionil, termasuk memanfaatkan Gedung Pasar Banto peninggalan Wako Jufri yang terbiarkan. Jangan melihat itu sebagai kerja Jufri, tapi fokus pada “zaman Ramlan-Ibnu” lah suasana Pasar Banto itu jadi moderen dan meriah. Pembenahan kesemrawutan di sekitar Pasar Banto satu keharusan, daerah ini berbahaya untuk pejalan kaki, mobil-mobil sering parkir di trotoar yang dulu dibuat Ramlan.
- Masih terkait Ekonomi dan Perdagangan, para pedagang asongan yang tidak terkendali mengganggu kenyamanan wisatawan di titik-titik utama seperti Jam Gadang, mungkin perlu zona khusus PKL dan Pedagang Asongan. Misalnya dengan membangun area khusus untuk pedagang di dekat objek wisata tanpa mengganggu estetika dan kenyamanan, misalnya dengan menerapkan desain kios yang estetik dan ramah lingkungan. Namun, diperlukan edukasi dan pemberdayaan pedagang dengan memberikan pelatihan tentang pelayanan wisatawan, kebersihan dan cara pemasaran produk. Dorong para pedagang itu untuk menyediakan produk khas Bukittinggi (souvenir, kuliner lokal) agar tetap relevan dengan konsep wisata.
Permasalahan Pengembangan Wisata Jalan Kaki Bukittinggi
Ada beberapa kendala dan solusi yang mungkin dapat dilakukan dalam upaya pengembangan wisata jalan kaki di Bukittinggi walkable city nanti. Masalahnya: Kota ini sekarang kurang ramah terhadap pejalan kaki, trotoar digunakan untuk parkir, paling parah memang di Pasar Banto itu. Zebra cross tidak dihormati pengendara, dan minimnya jalur pejalan kaki yang nyaman.
Solusinya: untuk tahap awal, pengerahan Satpol PP dengan pendekatan humanis akan dapat menyelesaikan masalah. Untuk ke depan, diperlukan penerapan traffic calming measures, seperti zebra cross berwarna cerah dan speed bump (polisi tidur) di beberapa persimpangan pejalan kaki. Diikuti kampanye edukasi untuk pengendara agar menghormati zebra cross, serta penegakan hukum bagi pelanggar. Lalu, pemasangan papan-papan tanda “Bukittinggi Ramah Pejalan Kaki” sebagai peringatan akan turut mendisiplinkan masyarakat.
Bukittinggi yang kecil dan semakin ramai memerlukan strategi kebijakan masa depan yang sangat teliti. Masalah parkir dan pengurangan kendaraan masuk ke jantung kota sangat mendesak untuk dipikirkan. Alternatif solusinya, diperlukan lahan parkir bertingkat dalam radius sekian ratus meter di luar jantung kota. Pengadaan bus transit yang nyaman, moderen dan dan teratur yang hanya mutar-mutar di jantung kota.
Dalam hal ini, pola kerja sama Pemko dengan para pengusaha oplet Bikittinggi, mungkin perlu meniru pola Anies Baswedan dalam mengatasi masalah kesemrawutan transportasi di Jakarta dulu.
Kesimpulan
Pengembangan Bukittinggi Kota Wisata ke depan seharusnya tidak hanya soal PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui peningkatan jumlah wisatawan. Tapi juga membangun lingkungan yang tertib, indah dan nyaman, sambil mendorong wisatawan untuk berjalan kaki.
Wisata jalan kaki mempunyai dampak berganda (multiplier effects). Dengan menata parkir, merapikan pedagang, serta membangun jalur wisata jalan kaki yang aman dan menarik, Bukittinggi dapat menjadi contoh kota wisata berkelanjutan yang modern tanpa meninggalkan nilai budaya lokalnya.
Dengan pendekatan ini, Kota Bukittinggi sebagai barometer pariwisata Sumatera Barat bisa menjadi “The Walking City”. Pemerintahan Ramlan-Ibnu akan dikenang masyarakat lokal dan nasional sebagai pelopor wisata jalan kaki.
Pakar pemasaran menyatakan, inti pemasaran adalah melahirkan sesuatu yang baru. Selain sebagai kota pendidikan dan perdagangan, Bukittinggi juga perlu mengambil peluang dalam pariwisata sejarah, budaya, dan alam yang unggul. Terima kasih, semoga bermanfaat. (*)
Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (Pencinta Wisata Sejarah dan Budaya, Deputi Presiden Minangkabau Diaspora Network Global)