Ketika Masa Depan Terasa Buram Generasi Muda Melirik Negeri Orang

Generasi Muda

HARIANHALUAN.ID – Generasi Muda dan krisis harapan generasi muda kerap didaulat sebagai agent of change, pilar utama dalam mendinamisasi inovasi, memperkokoh demokrasi, serta membangun ekonomi yang berkelanjutan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, terjadi pergeseran orien tasi eksistensial di kalangan pemuda Indonesia sebuah krisis harapan yang berujung pada eskapisme struktural ke luar negeri.

Fenomena ini terefleksikan dalam tagar #KaburAjaDulu, sebuah representasi kolektif dari keinginan gene rasi muda untuk mencari suaka masa depan yang lebih prospektif di negeri orang.

Fenomena migrasi ini dapat dielaborasi melalui theory of push and pull factors yang dikemukakan oleh Everett Lee. Dalam teorinya, Lee menegaskan bahwa perpindahan penduduk bukanlah sesuatu yang terjadi secara acak, melainkan dipicu oleh faktor pendorong (push factors) dari negara asal, seperti instabilitas ekonomi, ketimpangan sosial, serta ketidakpastian politik, yang kemudian dikontraskan dengan faktor penarik (pull factors) dari negara tujuan, seperti peluang kerja yang lebih luas, sistem kesejahteraan yang komprehensif, serta ekosistem profesional yang lebih meritokratis.

Tidak mengherankan jika negaranegara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Jerman, dsb menjadi magnet bagi kalangan muda berkompetensi tinggi dari Indonesia.

Dari Optimisme ke Pesimisme

Fenomena ini tidak dapat dipandang secara ahistoris. Dalam kajian sosiologi historis, migrasi generasi muda dapat dipahami melalui social pendulum theory yang menggambarkan bagaimana ekspektasi kolektif terhadap negara mereka berayun dalam siklus optimisme dan pesimisme.

Ketika negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabilitas politik yang terjaga, generasi muda cenderung menaruh kepercayaan terhadap masa depan mereka di tanah air. Namun, saat stagnasi ekonomi melanda, ketimpangan sosial semakin melebar dan institusi demokrasi mengalami erosi, maka pesimisme pun menguat, mendorong gelombang emigrasi yang masif.

Pitirim Sorokin, dalam teorinya tentang social mobility, menegaskan bahwa individu akan senantiasa mencari jalur mobilitas alternatif ketika struktur sosial-ekonomi yang ada gagal menyediakan ruang bagi aktualisasi diri dan kesejahteraan mereka.

Realita Pasar Kerja: Pendidikan Tinggi, Gaji Rendah

Salah satu paradoks fundamental yang dihadapi generasi muda Indonesia adalah ketimpangan antara kualifikasi akademik dan realitas pasar kerja. Michael Spence, melalui job market signaling theory, menegaskan bahwa gelar akademik tidak selalu menjadi indikator absolut bagi akses terhadap pekerjaan yang layak, terutama dalam konteks pasar tenaga kerja yang mengalami oversaturasi (jumlah pekerja yang tersedia di pasar tenaga kerja melebihi jumlah pekerjaan yang tersedia).

Selain itu, dalam dual labor market theory yang dikembangkan oleh Doeringer dan Piore, sistem ketenagakerjaan terbagi menjadi dua segmen utama, yaitu sektor primer yang mena warkan stabilitas kerja, insentif ekonomi yang kompetitif, serta peluang pengembangan profesional yang substansial dan sektor sekunder yang bersifat eksploitatif, dengan upah mini malis, kontrak kerja yang tidak fleksibel, serta minimnya perlin dungan tenaga kerja.

Sayangnya, di banyak negara berkembang, generasi muda lebih banyak terjebak dalam sektor sekunder. Kondisi ini semakin mengafir masi persepsi bahwa kesem patan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak hanya dapat ditemukan di luar negeri, bukan di dalam negeri.

Ketidakstabilan Politik dan Krisis Legitimasi

Selain determinan ekonomi, dimensi politik juga berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya keinginan genera si muda untuk bermigrasi. Francis Fukuyama, dalam karyanya The End of History and the Last Man, menekankan bahwa negara yang gagal menjamin kebebasan politik dan hak-hak sipil akan kehilangan daya tarik bagi warganya.

Di Indonesia, prevalensi korupsi, lemahnya supremasi hukum, serta regresi demokrasi telah memicu krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Dalam konteks ini, legitimacy crisis, sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, menjadi relevan.

Habermas menjelaskan bahwa ketika negara gagal memenuhi harapan warganya, maka legitimasi institusional akan mengalami erosi, yang pada akhirnya dapat berujung pada delegitimasi sosial yang meluas, termasuk dalam bentuk gelombang migrasi generasi muda yang kian meningkat.

Media Sosial dan Distorsi Realitas

Di era digital, media sosial telah menjadi instrumen utama dalam membentuk persepsi anak muda mengenai kehidupan di luar negeri. Jean Baudrillard, melalui konsep hyperreality, menjelaskan bagaimana media menciptakan realitas yang terdis torsi, di mana individu lebih banyak terpapar pada kon struksi naratif ketimbang pengalaman empiris.

Dalam konteks migrasi, media sosial sering kali hanya menampilkan aspek-aspek positif dari kehidupan di luar negeri gaji tinggi, fasilitas publik yang modern, serta lingkungan yang lebih egaliter tanpa mengekspos tantangan sosial yang dihadapi para imigran.

Hal ini selaras dengan relative deprivation theory dari Ted Gurr, yang menyatakan bahwa ketidakpuasan sosial tidak selalu disebabkan oleh kondisi ekonomi yang absolut, melainkan oleh adanya kesenjangan antara ekspektasi dan realitas yang dialami individu.

Brain Drain dan Konsekuensi Struktural bagi Indonesia

Eksodus tenaga kerja terampil ke luar negeri tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menciptakan konsekuensi makroekonomi yang serius bagi Indonesia. Fenomena brain drain berimplikasi pada stagnasi inovasi, serta hilangnya modal intelektual yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan nasional.

Negara-negara maju seperti Kanada, Australia, Jepang, Jerman, dll, secara aktif menerapkan kebijakan brain gain, yang menarik talenta terbaik dari negara berkembang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka. Jika tidak ada intervensi kebijakan yang komprehensif, Indonesia akan terus mengalami brain drain yang memperlambat laju trans formasi struktural dan menghambat daya saing nasional dalam ekonomi global.

Membangun Harapan, Menahan Arus Migrasi

Untuk mengatasi fenomena ini, negara harus menginisiasi reformasi struktural guna menciptakan ekosistem yang lebih kondusif bagi generasi muda. Richard Florida, dalam konsepnya tentang creative class, menegaskan bahwa talenta muda akan bertahan di negara yang memiliki lingkungan inovatif, kebijakan ketenaga kerjaan yang inklusif, serta ruang partisipasi politik yang lebih terbuka.

Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukan sekadar peningkatan lapangan pekerjaan, tetapi juga pembenahan sistemik di berbagai sektor. Jika negara gagal menghadirkan harapan bagi generasi muda nya, maka fenomena #Kabur AjaDulu bukan hanya akan menjadi tren sesaat di media sosial, melainkan sebuah kenyataan yang kian sulit dibendung.

Moganya hal ini hanya transisi sejenak bagi Individu Indonesia dalam menata kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera. Kalaulah eksistensi #Kaburajadulu semakin meng geliat di kalangan masyarakat; muda-tua, semoga rasa kepedulian terhadap negeri ini tidak memudar. Cinta pada tanah air diuji ketika ia sedang dilanda badai permasalahan seperti yang dirasakan saat ini. (*)

Oleh: Agahirber (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)

Exit mobile version