Oleh: Ronny P Sasmita
(Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution)
Sebenarnya, belanja operasional dan perjalanan dinas pemerintah berimbas positif dan produktif kepada ekonomi, tapi kurang sustainable. Dikatakan demikian karena sifatnya yang hanya berupa “input “sekali masuk. Jadi saat dihentikan, maka semua “chain reaction”-nya (efek berantai atau multiplier effect) juga berhenti.
Bedakan misalnya jika anggaran dipakai untuk membangun sekolah, dari tidak ada sekolah di satu titik lokasi menjadi ada sekolah. Maka setelah dibangun, tidak perlu lagi membangun sekolah di lokasi yang sama dalam jangka waktu tertentu. Tapi anak-anak bisa terus bersekolah di sana, tanpa harus pergi jauh-jauh ke tempat lain untuk bersekolah yang terkadang membuka peluang bagi anak-anak tersebut untuk tidak lagi bersekolah karena jauh dan berbiaya mahal. Artinya, ada efek berkelanjutan dari belanja pembangunan gedung sekolah, hanya dengan sekali alokasi anggaran pembangunannya.
Begitu juga dengan pembangunan jalan dan jembatan di daerah terpencil, misalnya, atau pengembangan irigasi yang membuat petani bisa lebih dari sekali untuk bercocok tanam, sehingga bisa dua sampai tiga kali untuk panen dalam setahun di mana sebelumnya hanya sekali setahun panen lantaran bergantung kepada musim. Efeknya kepada produktivitas sangat jelas, sustainable, dan “calculable”, sekalipun tidak ada lagi anggaran pembangunan dengan mata anggaran yang sama setelah itu selesai dibangun. Logika yang sama berlaku pada pembangunan infrastruktur untuk memudahkan investasi baru dan lainya.
Sementara belanja rutin dan operasional, katakanlah misalnya belanja perjalanan dinas, imbas produktifnya akan terasa disaat pos anggaran tetap ada setiap tahun. Perusahaan tour and travel, hotel dan restoran, rental kendaraan, UMKM souvenir, akan menjadi penikmat rutin pula setiap tahun, bersama dengan semua SDM yang bergantung kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Tapi saat anggaran perjalanan dinas dipangkas, efeknya juga terpangkas seketika. Karena itulah dikatakan tidak sustainable.
Lantas pertanyaanya kemudian, bagaimana jika anggaran hasil penghematan/efisiensi kali ini digunakan atau direlokasi untuk membiayai program makan siang gratis? Untuk makan siang gratis, efeknya bisa sustainable jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, karena memang digunakan untuk perbaikan nutrisi SDM masa depan bangsa. Sebagaimana diketahui, pembangunan SDM butuh waktu, tidak bisa sekali “libas”. Sehingga dalam jangka panjang, SDM Indonesia bisa lebih baik karena didukung oleh nutrisi yang baik.
Jadi secara temporal, pertama, efeknya sebenarnya sama dengan belanja rutin. Jika dalam dua tahun ternyata program makan siang gratis terhenti, maka efeknya tidak akan terlalu terasa. Secara teknis efek produktifnya sepanjang rantai pasok program makan siang gratis juga terhenti saat programnya terhenti, persis sama dengan belanja perjalanan dinas.
Efek penambahan gizi kepada anak sekolah SD hanya selama dua tahun, misalnya, tentu hanya akan menyelamatkan anak-anak dua angkatan dari ancaman stunting. Setelah itu, jika kondisi orang tua mereka tak juga membaik, otomatis budaya makan anak-anak tersebut akan kembali ke pola semula.
Kedua, jika ternyata makan siang gratis untuk anak-anak SD hanya menggantikan makan siang yang telah mereka bawa selama ini dari rumah, maka program makan siang gratis pemerintah otomatis menghentikan rantai pasok makan siang mandiri dari orang tua anak-anak SD tersebut yang didapat dari pasar di mana mereka tinggal (pasar tradisional atau pasar konvensional lainya). Artinya, ada rantai pasok makan siang yang terhenti/terkurangi di pasaran, meskipun cenderung kurang terasa prosesnya, lalu digantikan oleh rantai pasok baru versi pemerintah di mana prosesnya lebih terasa karena diorganisir oleh pemerintah.
Artinya, belum tentu secara total program makan siang gratis menciptakan efek produktif yang dibawa oleh keseluruhan rantai pasok makan siang gratis tersebut, sebagaimana yang dielu-elukan pemerintah. Tetap ada potensi destruktifnya kepada perekonomian akibat berhentinya rantai pasok makan siang anak-anak SD yang bergantung kepada pasar konvensional selama ini. Akan ada pengurangan permintaan lauk pauk, beras, sayur, dan sejenisnya, di pasar-pasar konvensional di mana orang tua anak-anak SD tersebut berbelanja selama ini.
Naasnya, misalnya untuk program makan siang gratis untuk anak-anak SD, ternyata hampir 100 persen anak-anak SD selama ini memang membawa makan siang dari rumah, katakan saja demikian, maka otomatis imbas produktif dari program makan siang gratis sebenarnya menjadi tidak ada atau cateri paribus (konstan). Pasalnya, kehadiran rantai pasok makan siang gratis untuk anak-anak SD tadi hanya menggantikan rantai pasok dari pasar konvensional yang ada. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pergeseran pelaku semata, dari yang awalnya benar-benar dilakukan berdasarkan mekanisme pasar, digantikan dengan rantai pasok yang di-engineering oleh pemerintah
Secara ekonomi politik, kondisi ini tentu menjadi tidak lebih baik. Rantai pasok makan siang gratis dari pasar konvensional yang dilakukan secara mandiri oleh orang tua murid masih berpotensi mendistribusikan kue ekonomi secara merata kepada masyarakat dan pelaku ekonomi, tergantung kepada model penguasaan “sumber daya” sepanjang rantai pasok makan siang tersebut di pasar. Dan saya mengasumsikan proses penyediaan makan siang secara mandiri oleh orang tua murid jauh lebih terdistribusi secara merata efek ekonominya, mengingat masih kuatnya logika pasar di baliknya. Harga masih bergantung kepada permintaan dan penawaran, bukan berdasarkan “baseline” versi pemerintah.
Nah, jika kondisi tersebut menjadi latar yang mengiringi lahirnya program makan siang gratis, maka tidak saja efeknya menjadi “konstan”, tapi juga lebih destruktif karena akan menciptakan struktur ekonomi yang lebih “government endorsed” di sepanjang rantai pasok makan siang gratis. Artinya, keberadaan “winner dan loser” di sepanjang rantai pasok makan siang gratis akan sangat terasa.
Yang mendapatkan proyek makan siang gratis, beserta dengan rantai pasok yang ada di belakangnya, akan menjadi pemenang. Sementara pelaku di pasar konvensional yang menjadi rantai pasok makan siang secara mandiri selama ini akan menjadi loser. Di sini saya ingin mengatakan bahwa efek produktif jangka pendek dan menengah dari makan siang gratis tidak serta merta terjadi, boleh jadi hanya berupa perubahan pelaku di rantai pasok makan siang gratis semata, jika ternyata yang terjadi adalah menggantikan budaya makan siang gratis versi “bawa dari rumah” yang sudah ada sebelumnya dengan makan siang gratis “besutan pemerintah”. Sehingga yang sebenarnya terjadi adalah zero sum game antara rantai pasok baru versi pemerintah dan rantai pasok lama versi makan siang gratis
Dengan kata lain, efek produktifnya hanya akan terjadi jika makan siang gratis berangkat dari asumsi bahwa memang anak-anak SD tadi sebelumnya tidak makan siang gratis dan tidak pula membeli makan siang gratis di luaran. Sehingga dengan hadirnya makan siang gratis, akan tercipta rantai pasok baru yang akan menggerakan perekonomian di sepanjang rantai pasok tersebut.
Arti lainya, imbas produktif dari hilangnya setengah anggaran rutin, lalu dialihkan untuk makan siang gratis, boleh jadi berujung negatif, karena terjadi pergeseran anggaran dari pos yang produktif tapi tidak sustainable kepada pos yang produktif tapi kurang sustainable sekaligus berpotensi negatif ke pasaran. Sehingga, meyakini bahwa program makan siang gratis bisa menjadi salah satu triger untuk mendatangkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, saya kira, belum memiliki dasar yang terlalu kuat untuk diyakini. (*)