Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas)
Hal yang jamak dapat dilihat pada daerah-daerah dengan komposisi penduduk muslim paling banyak, memasuki puasa Ramadan biasanya juga berarti perubahan yang sangat berarti pada suasana dan aktivitas sehari-hari.
Di Sumatera Barat, selain nuansa Ramadan yang sangat kental dengan berbagai macam ritual peribadatan, biasanya juga dilakukan penyesuaian pada bidang pendidikan dengan memindahkan jam pelajaran di sekolah menjadi kegiatan tarbiyah berbasis masjid atau musala. Tahun ini pun kegiatan yang dinamakan dengan Pesantren Ramadan tersebut menjadi penghias kegiatan para pelajar tingkat dasar dan menengah di provinsi ini.
Dalam kegiatan ini, biasanya selain bertumpu pada aktivitas keagamaan juga biasanya ditambahkan muatan-muatan lain yang sangat dekat dengan kehidupan remaja. Di antara kegiatan mengaji, mendengarkan ceramah agama, muhasabah dan aktivitas lainnya, para santriwan dan santriwati tersebut juga diberikan materi lain yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Semisal tentang narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) agar dapat mengetahui bahayanya, adab pergaulan agar terhindar dari dampak negatif pergaulan bebas, sampai pada berbagai penyakit sosial yang dewasa ini memerlukan perhatian khusus untuk menghadapinya. Meskipun semua materi tersebut akan sangat menambah khazanah pengetahuan, tetapi tetap ada hal yang bisa ditambahkan ke dalam rangkuman materi pembelajaran Pesantren Ramadan tersebut.
Salah satu yang mungkin cukup layak dimasukkan adalah tentang nilai-nilai kecintaalaman. Hal ini tidak berlebihan diusulkan menjadi bagian kurikulum Pesantren Ramadan, mengingat beragam masalah menyangkut lingkungan hidup sudah berada dalam kondisi sangat mencemaskan dewasa ini. Banyaknya bencana alam yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan bukan melulu menjadi peristiwa yang terjadi secara alamiah, tetapi sangat besar peranan manusia di belakangnya.
Banjir bandang, tanah longsor, bencana kekeringan dan banyak lagi, semuanya melibatkan campur tangan manusia terutama dalam bentuk perusakan hutan, pengalihan fungsi lahan, salah kelola lingkungan, sampai pada pembuangan sampah sembarangan. Saat ini, negara kita benar-benar dalam kondisi darurat karena nyaris di banyak lokasi bencana-bencana ini terjadi mengindikasikan bahwa masalah yang berawal pada kurangnya kepedulian manusia terhadap alam tersebut sudah mencapai tingkat yang sangat massif.
Di lain pihak, kecintaan kepada alam dan lingkungan sekitar juga menjadi salah satu point penting yang diajarkan di dalam agama Islam. Umat Islam diajarkan bahwa semua makhluk hidup adalah setara sebagai makhluk di hadapan Allah SWT (Al-An’am ayat 38), menuntun manusia untuk berlaku dengan baik terhadap sesama manusia dan juga makhluk hidup pada umumnya.
Selain itu, menjaga kondisi lingkungan (tanah, air dan udara) juga menjadi hal yang diwajibkan secara umum demi kemashlahatan dan optimalitas kualitas hidup manusia itu sendiri (Al-Furqan 48-49, Al-A’raf 56 dan 58, Al-Isra 70). Sehingga tidak heran jika manusia yang berbuat kerusakan terhadap lingkungan justru mendekatkannya kepada kekafiran (Al-Baqarah 30 dan 205, Al-Maidah 32, Shad 28, Ar-Rum 41).
Bahkan dalam peperangan pun, Rasulullah memberikan contoh etika yang sangat baik terhadap lingkungan dengan melarang menebang pepohonan, merusak bangunan, atau mengotori sumber air. Saking pentingnya kondisi lingkungan yang baik, di mana vegetasi tumbuhan menjadi salah satu kunci utamanya, umat Islam diminta tetap menanam bibit tumbuhan yang ada padanya meskipun besok hari akan kiamat!
Dengan memahami sedikit contoh tentang betapa pedulinya Islam dengan kondisi lingkungan hidup yang optimal tadi, maka tentunya sudah lebih dari cukup untuk menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran berbasis keagamaan seperti Pesantren Ramadan yang sedang berjalan. Terlebih pesertanya adalah para siswa yang notabene dalam usia pra-remaja yang masih memiliki kesempatan sangat besar untuk menanamkan rasa cinta pada alam sehingga termanifestasi dalam kehidupan mereka ke depannya. Tentunya juga tidak menutup kemungkinan jika penanaman rasa cinta terhadap alam lingkungan sekitar ini juga diteruskan kepada kelompok usia yang lebih tua lagi, karena Islam sendiri tidak membatasi usia untuk belajar apalagi terhadap hal yang sangat penting ini.
Menggunakan metoda tadabbur langsung di alam lingkungan sekitar, selain menyampaian materi ruangan yang disertai dengan landasan ayat Al-Qur’an dan hadis tentang kecintaan terhadap alam dapat menjadi cara terbaik untuk hal ini. Setelah para santri diberikan pemahaman tentang bagaimana pentingnya memelihara dan melestarikan alam, sesuai dengan yang diperintahkan oleh agama, mereka juga dapat melihat langsung kondisi alam lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini dilakukan agar mereka dapat menganalisis kondisi lingkungan tempat tinggalnya, apakah sudah baik atau tidak.
Selain itu, mereka juga bisa melihat langsung bagaimana kebiasaan atau perilaku masyarakat terhadap lingkungan, sehingga dapat menilai apakah sudah tepat atau tidak. Bisa jadi, karena sudah terbiasa melihat orang-orang di sekitarnya membuang sampah sembarangan, santri yang notabene masih anak-anak tersebut menganggapnya sebagai perbuatan yang lazim. Para instruktur yang mendampingi tadabbur ini harus bisa menjelaskan fenomena yang diamati, termasuk memberikan contoh bagaimana sikap atau perilaku yang lebih baik jika yang terlihat para santri adalah contoh yang buruknya di lapangan.
Berbicara tentang penanggulangan permasalahan lingkungan, seringkali kita menyalahkan kondisi ekonomi, perilaku sosial, sampai pada lemahnya penegakan hukum lingkungan sebagai alasannya. Cenderung berpasrah pada alasan-alasan klasik tersebut membuat perusakan terhadap lingkungan semakin menjadi. Sehingga melahirkan generasi baru dengan jiwa dan semangat kecintaalaman yang yang tinggi. Salah satunya melalui pendidikan informal Pesantren Ramadan, menjadi salah satu harapan agar kondisi tersebut tidak lagi berlanjut di masa depan. (*)