Oleh: Septa Elvi Maesyah
Berbicara tentang novel Nayla mungkin sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan terutama pecinta dunia sastra. Ketika berbicara tentang tokoh Nayla sangat miris bagi saya sendiri sebagai sosok perempuan.
Saya sangat tertarik membaca novel Nayla karena membahas tentang isu – isu tabu seperti seksualitas, kekerasan dan broken home. Kisah broken home yang saat ini banyak dialami oleh para kalangan remaja maupun dewasa.
Seorang anak perempuan yang dihadapkan kebingungan, kesedihan, kesakitan yang luar biasa, ketika ditanya kamu milih ikut siapa? Antara ayah dan ibu, ternyata seorang anak merasa sangat kebingungan akan hal ini, lihatlah betapa pertanyaan egois yang menyakitkan harus keluar dari mulut ibu yang melahirkannya dihadapan gadis sekecil Nayla.
Kalau saya logikakan seorang anak akan memilih keduanya, karena kasih sayang akan lengkap ketika ayah dan ibu utuh, tak kan ada anak yang mau memilih salah satu.
Saya sangat sakit membacanya waktu awal kejadian yang dialami oleh Nayla dan membuat emosi saya mengalir ketika Nayla sejak kecil sudah mendapatkan hukuman badan dari ibunya diawali dengan dia disuruh ibunya memilih peniti. Kemudian ditampar dan berakhir peniti ditusukkan ke selangkangannya namun dia tak menangis tak juga meronta tapi dia hanya bisa diam dengan rasa sakit hatinya terhadap ibunya yang lebih kejam dari pada monster.
Ibunya menghukum Nayla karena Nayla malas untuk ke kamar kecil, ibunya murka karena Nayla masih juga ngompol. Bagaimana tidak, seorang ibu mana yang sangat kejam terhadap anak perempuannya.
Dan entah kenapa Ibu Nayla sangat membenci sifat “malas” yang berkaitan dengan aktivitas apa pun yang dilakukan oleh Nayla, itulah yang membuat sang Ibu murka terhadap Nayla, kemudian Nayla diberi pilihan untuk memilih antara ayahnya atau ikut Ibu.