Oleh: Yuhirman (Direktur Beranda Energi Literasi)
Tentu anda pernah merasakan bahwa banjir selalu datang bertamu ke rumah Anda setiap tahun. Entah banjir itu sayang kepada anda atau rindu kepada anda, yang jelas ketika musim hujan di setiap tahun, banjir tak pernah absen bertamu ke rumah Anda, walaupun tanpa diundang. Dan banjir itu tak pernah merasa risih mengunjungi Anda, padahal Anda menolak dan tidak suka kehadirannya. Banjir tak mau tahu, walaupun kehadirannya bukan membawa manfaat, melainkan membawa mudarat.
Pada tahun 2025 ini, demikian semua saluran TV nasional memberitakan, banjir itu datang lagi berkunjung. Dia menyapa warga ketika kegiatan pertama sahur di bulan Ramadan. Tidak tanggung-tanggung, kehadiran banjir sampai satu setengah meter.
Berikut ini kutipan secuil cerita derita warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur pada hari pertama bulan Ramadan 1446 H. “Untuk memasak makan sahur, kami terpaksa memasak di rumah kami yang untunglah berlantai 2. Selanjutnya, setelah semua makanan siap disantap, selesaikah masalahnya? Sudah bisakah kita memulai makan sahur? Belum dan tidak bisa. Semua tempat telah digenangi air. Satu-satunya yang tidak tergenang adalah masjid. Maka berbondong-bondonglah warga menuju masjid untuk makan sahur bersama.”
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di beberapa tempat di Kota Jakarta, Bandung, Bekasi, Semarang, Kota Balikpapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Kabupaten Buru Selatan, Maluku, dan hampir seluruh wilayah NKRI dilanda banjir pada Ramadan di hari pertama.
Tidak sedikit kerugian ditanggung warga. Infrastruktur, seperti bendungan, rumah penduduk, jalan, jembatan, sekolah, pasar, lahan sawah, ladang dan sebagainya mengalami kerusakan yang akhirnya menghalangi kegiatan masyarakat. Gerak ekonomi terhenti. Yang tak kalah dahsyatnya, penyakit berdatangan.
Setiap orang mungkin pernah merasakan suasana kesulitan pada masa banjir seperti digambarkan di atas. Setidak-tidaknya, setiap orang pasti pernah melihat kesulitan masyarakat akibat peristiwa banjir baik melalui pandangan langsung maupun melalui layar televisi. Tapi, belum tentu semua orang bisa berbuat. Ketika banjir berlalu, kesulitan pun terlupakan. Bahkan bagi yang mengalami sendiri. Walaupun alam sudah rusak, semuanya mudah dilupakan. Bumi pun disalahkan dan dianggap tidak bersahabat lagi dengan manusia.
Tidak demikian dengan Gaylord Nelson, seorang senator Amerika Serikat. Pada tahun 1969, berarti 56 tahun yang lalau, ia melihat alam semakin rusak. Peristiwa tumpahnya minyak di Santa Barbara menjadi keprihatinan dirinya. Ia juga melihat dampak negatif industrialisasi terhadap alam. Asap pabrik yang menyesakkan, limbah kimia yang mencemari sungai, dan eksploitasi alam yang tak terkendali. Semuanya menguatkan dirinya akan kesadaran tentang kerusakan lingkungan.
Pada musim panas tahun 1969, dalam sebuah pidato, Nelson menggagas ide “a nationwide environmental teach-in” (pelatihan lingkungan hidup nasional). Nelson membayangkan ada sebuah hari di mana masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa, belajar dan berdiskusi tentang isu-isu lingkungan. Gagasan ini melahirkan Hari Bumi (setiap 22 April), sebuah momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan aksi nyata dalam menjaga planet kita.
Bumi Semakin Sakit
Sekarang bumi semakin tua karena dimakan usia. Tubuhnya sudah renta, lemah tak berdaya. Ototnya semakin rapuh karena ditanami oleh gedung-gedung beton yang menjulang tinggi. Penyakit borok, bernanah menghinggapi kulit karena digali dan dikeruk mengeluarkan isi perut, jeroan, dan memotong saraf yang menghubungi organ-organ penting bumi.
Pepohonan sebagai paru-parunya tak mampu lagi menghasilkan oksigen yang cukup. Apalagi asap pabrik dan kendaraan yang menyesakkan turut memicu polusi udara. Air sebagai darahnya yang mengalir dari hutan semakin berkurang, terutama bila musim kemarau datang menjelang. Tetapi bila musim hujan dia meluap, membawa sampah, racun dan menggenangi rumah warga.
Bumi mudah diserang penyakit. Emil Salim (2010) dalam bukunya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi mengatakan bahwa selama 200 tahun lalu negara-negara di dunia membangun dengan merusak satu bumi ini. Selanjutnya, dalam surat Ar Rum ayat 41, Tuhan mengingatkan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
GRK Memicu Bumi Sakit
Penyakit yang menyerang bumi belum berakhir. Penyerangan yang menimbulkan kerusakan, sepertinya tak akan pernah berhenti. Gerakan perusakan seolah-olah berkelanjutan (meminjam istilah pembangunan ramah lingkungan). Malah gerakan perusakan itu meningkat menjadi TSM (terstruktur, sistimatik, dan masif), meminjam istilah dari suara rakyat yang kecewa dengan proses pemilu.
GRK (gas rumah kaca), misalnya. GRK menjadi salah satu isu paling krusial dan mendesak berkaitan dengan perusakan bumi. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang menyerap dan memantulkan kembali panas dari permukaan bumi, menciptakan efek rumah kaca yang menjaga suhu bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, karena aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, industri, dan pertanian intensif— terutama sejak revolusi industri maka jumlah GRK meningkat drastis. Ini yang menyebabkan pemanasan global yang tidak alami, perubahan iklim ekstrem, gangguan pada ekosistem, dan sistem kehidupan manusia.
Energi Terbarukan
Tema Hari Bumi 2025 adalah “Our Power, Our Planet” atau dalam bahasa Indonesia, “Kekuatan Kita, Planet Kita”. Tema ini mengajak seluruh masyarakat global untuk bersatu dalam mendukung energi terbarukan dan berupaya melipatgandakan produksi listrik bersih secara global pada tahun 2030. Inisiatif ini mendorong individu, komunitas, dan organisasi untuk mengambil tindakan nyata dalam mendukung transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Keunggulan energi terbarukan di antaranya, pertama, ramah lingkungan. Energi ini minim emisi gas rumah kaca, membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Kedua, sumber energi tak akan habis. Berbeda dengan bahan bakar fosil, energi dari matahari, angin, dan air tidak akan habis. Ketiga, mendorong inovasi teknologi dan pekerjaan hijau. Sektor ini membuka peluang kerja baru dan mendorong transfer teknologi. Keempat, meningkatkan ketahanan energi. Kehadiran energi terbarukan dapat mengurangi ketergantungan pada pasar energi global yang fluktuatif.
Di balik keunggulan, juga terdapat kelemahan, di antaranya, pertama, intermitensi. Sumber energi seperti matahari dan angin tidak selalu tersedia, sehingga perlu sistem penyimpanan energi atau jaringan listrik yang fleksibel. Kedua, konflik sosial dan ekologis. Proyek ini dapat memicu konflik sosial dan ekologis karena proyek ini memerlukan lahan luas.
Ketiga, walaupun biaya opersional rendah akan tetapi investasi awal bisa mahal, terutama untuk teknologi dan infrastruktur. Keempat, pembanguan PLTA skala besar bisa menenggelamkan permukiman, lahan pertanian, dan habitat margasatwa. Kelima, pembangunan ladang energi surya atau angin kadang mengganggu satwa liar atau menimbulkan konflik dengan masyarakat adat.
Energi terbarukan memang perlu untuk mengganti penggunaan energi fosil yang bersifat tidak terbarukan. Energi fosil itu sendiri berdampak negatif terhadap gas rumah kaca. Di sisi lain, tak dapat pula dipungkiri, energi terbarukan strategis dalam menghadapi krisis iklim dan ketahanan energi. Namun, pendekatan pembangunan energi terbarukan yang hanya berfokus pada kuantitas energi tanpa memperhatikan keadilan sosial dan ekologis bisa menciptakan bentuk baru dari eksploitasi dan kolonialisme energi.
Untuk itu, pembangunan energi terbarukan perlu mempertimbangkan, pertama. transisi energi yang adil di mana melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan merupakan sesuatu keniscayaan. Kedua, perlu melakukan penilaian dampak sosial dan ekologis secara holistik. Ketiga, perlu adanya desentralisasi energi yaitu memberi ruang untuk pembangkit skala kecil berbasis komunitas, bukan hanya megaproyek industri.
Pada dasarnya, energi terbarukan merupakan anugerah dan sekaligus ujian zaman. Ia bisa menjadi jembatan ke masa depan yang penuh berkah, atau malah sebaliknya menjadi topeng baru ketidakadilan. Hal ini tergantung pada siapa yang mengendalikan dan untuk tujuan apa, energi terbarukan itu dikembangkan.
Akhirnya, perlu diingat, bahwa dalam konteks sunatullah, energi terbarukan bukan hanya tentang “ramah lingkungan” saja, tapi selaras dengan tatanan kehidupan yang adil dan penuh hikmah, baik untuk manusia, alam, dan seluruh makhluk Allah. (*)