Oleh: Prakoso Bhairawa Putera (Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN/Dosen Magister Kebijakan Publik Unpad)
Kita, bangsa Indonesia, baru saja akan melewati bulan April—sebuah momen reflektif untuk menghormati perjuangan perempuan dalam menuntut kesetaraan dan hak atas pendidikan.
Di ranah Minangkabau, warisan perjuangan perempuan dalam membela hak dan pendidikan juga tercermin melalui sosok-sosok luar biasa. Rahmah El Yunusiyah, misalnya, bukan hanya menjadi pendiri sekolah Islam perempuan pertama di Indonesia melalui Diniyah Puteri Padang Panjang, tetapi juga memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi berbasis nilai keislaman yang maju. Upayanya membuka jalan bagi perempuan Minang—dan Indonesia—untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan dan sosial keagamaan tanpa meninggalkan akar budaya.
Tak hanya Rahmah, sejumlah nama lain seperti Roehana Koeddoes, pelopor pers perempuan pertama Indonesia dengan Soenting Melajoe, serta Rasuna Said yang dikenal sebagai “Singanya Podium” dalam memperjuangkan kemerdekaan, menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau memiliki tradisi panjang sebagai agen perubahan. Mereka membuktikan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang membentuk perjalanan sejarah bangsa.
Namun, di tengah transformasi sosial-ekonomi masa kini, perjuangan itu menemukan bentuk baru. Perempuan kini tidak hanya menuntut ruang, melainkan telah hadir sebagai aktor utama dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk sebagai pencari nafkah utama keluarga, atau yang dikenal secara global sebagai female breadwinners. Di ranah ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (IPTEKIN), peran perempuan juga semakin menonjol, meski sektor ini masih lekat dengan bias maskulin yang diwariskan secara struktural.
Iptek dan Realitas Ketimpangan
Berbagai studi menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi banyak hambatan di sektor IPTEK: mulai dari minimnya representasi dalam bidang STEM, terbatasnya akses ke pelatihan dan posisi strategis, hingga bias institusional yang melanggengkan persepsi laki-laki sebagai aktor utama IPTEK.
Bagi female breadwinners, kondisi ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, mereka memainkan peran vital dalam menopang ekonomi keluarga. Namun di sisi lain, mereka masih berada dalam sistem yang belum sepenuhnya memberikan akses, pengakuan, maupun mobilitas sosial yang adil. Mereka sering harus menjalankan peran ganda sebagai profesional sekaligus pengelola rumah tangga, tanpa dukungan struktural yang memadai.
Meskipun begitu, ada banyak contoh keberhasilan perempuan dalam berinovasi dan beradaptasi. Pelaku UMKM perempuan, misalnya, berhasil memanfaatkan teknologi berbasis tradisi sebagai bentuk kemandirian ekonomi. Inisiatif teknologi tepat guna—seperti oven surya dan bio-toilet—yang melibatkan perempuan sejak tahap desain hingga pemanfaatan, membuktikan bahwa ketika diberi ruang dan kepercayaan, perempuan mampu menjadi motor utama inovasi sosial.
Ruang untuk Bertransformasi
Sayangnya, budaya kerja di sektor IPTEK masih sarat dengan bias. Representasi perempuan di jabatan tinggi masih rendah, meskipun kualifikasi akademik mereka setara. Kebijakan afirmatif pun belum hadir secara konsisten, padahal sangat dibutuhkan untuk menciptakan peluang yang adil—terutama bagi perempuan yang memikul beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga.
Tanpa intervensi kebijakan yang eksplisit dan berkelanjutan, perempuan akan terus menghadapi keterbatasan untuk berkontribusi secara strategis. Hal ini tak hanya merugikan mereka secara individu, tetapi juga melemahkan kapasitas inovatif bangsa secara keseluruhan.
Meski tantangannya nyata, ruang transformasi tetap terbuka. Inovasi berbasis komunitas dan teknologi digital memberi peluang baru yang lebih inklusif. Perempuan kini dapat mengakses pengetahuan, pasar, dan jaringan melalui platform digital—mulai dari e-commerce hingga aplikasi pertanian atau energi sederhana yang mendukung kemandirian ekonomi rumah tangga.
Langkah konkret yang diambil Tiongkok bisa menjadi inspirasi. Negara tersebut tidak sekadar menggaungkan isu gender, tetapi mengimplementasikannya melalui kebijakan afirmatif yang berdampak nyata. Pemerintah Tiongkok memperpanjang batas usia pendaftaran perempuan dalam program National Science Fund, serta aktif melibatkan organisasi seperti China Women’s Association for Science and Technology (CWAST) untuk menjembatani kepentingan ilmuwan perempuan dan negara. Hasilnya, perempuan kini mencakup hampir 46 persen pekerja IPTEK di Tiongkok—bukan semata karena seleksi alam, tetapi karena keberpihakan kebijakan.
Indonesia perlu belajar dari pendekatan ini. Mewujudkan ekosistem IPTEK yang setara membutuhkan desain kebijakan yang berbasis data, responsif terhadap dinamika sosial, dan didukung keberpihakan politik yang kuat.
Arah Kebijakan
Keterwakilan perempuan dalam IPTEK bukan sekadar soal representasi. Ini menyangkut kualitas kebijakan, keberlanjutan inovasi, dan keadilan sosial. Ketika perempuan absen dari pengembangan teknologi, hasilnya bisa fatal—dari data bias dalam sistem AI, hingga desain produk yang tidak ramah terhadap perempuan, seperti sabuk pengaman yang kurang aman untuk ibu hamil.
UNCTAD mencatat bahwa hanya 30 persen peneliti dunia adalah perempuan, dan kurang dari 20 persen menduduki posisi pemimpin lembaga riset. Pemegang paten perempuan pun masih jauh dari setara. Jika tren ini tidak berubah, paritas baru akan tercapai pada 2061. Female breadwinners menghadapi tantangan ganda—beban ekonomi dan hambatan struktural yang kuat.
Untuk menjawab tantangan tersebut, kebijakan nasional harus lebih eksplisit dan terfokus.
Pertama, perlu ada pengakuan formal terhadap beban ganda yang dihadapi perempuan serta kontribusi mereka dalam ekonomi dan IPTEK. Pengakuan ini harus diwujudkan melalui sistem penghargaan, promosi jabatan, dan pengembangan karier berbasis realitas gender.
Kedua, pendidikan dan pelatihan IPTEK harus diperluas, terutama untuk perempuan di sektor informal dan wilayah tertinggal. Program teknologi tepat guna perlu dirancang dengan perspektif gender untuk memberdayakan perempuan secara efektif.
Ketiga, sistem pendanaan riset dan inovasi perlu diperkuat agar lebih inklusif—membuka ruang bagi perempuan pelaku usaha mikro dan komunitas lokal untuk berkontribusi dalam ekosistem IPTEK.
Perempuan—terutama female breadwinners—bukan subjek pasif dalam pembangunan, melainkan aktor utama dalam transformasi IPTEK. Mereka membawa perspektif unik, pengalaman kaya, dan daya adaptasi tinggi. Membangun ekosistem IPTEK yang inklusif bukan hanya soal keadilan, tetapi soal efektivitas dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Lebih dari seabad, perempuan Indonesia telah mengukir peran besar dalam berbagai lini kehidupan. Di Minangkabau, tradisi bundo kanduang dan perjuangan tokoh-tokoh seperti Rahmah El Yunusiyah, Roehana Koeddoes, dan Rasuna Said menjadi bukti bahwa perempuan adalah penggerak perubahan. Kini, bentuk emansipasi yang relevan adalah memastikan perempuan—termasuk female breadwinners—dapat berkiprah di dunia IPTEK tanpa terhambat oleh bias dan hambatan struktural. Transformasi gender di dunia IPTEK bukan sekadar simbol, melainkan kunci untuk membangun masa depan bangsa yang lebih adil, inovatif, dan berdaya saing. (*)